"STOP!!"
Satu kata mengawali pagi itu, Difta membuka pintu dan keluar
dari kamarnya dengan air mata yang mengalir deras.
"Kalian bisa sehari gak ribut? Kalian bisa setidaknya
menghargai kami? Kami ini siapa? Kami ini anak kalian, ma, pa! Please, Arin masih
terlalu kecil buat tertekan karena keributan kalian yang seminggu ini gak
pernah stop! Difta capek, difta capek ma, pa!" semuanya tumpah, kejujuran
yang selama ini tertahankan.
Difta Rishab; anak pertama dari dua bersaudara,
hidup di tengah keluarga yang penuh humor, keluarga yang selalu tersenyum,
tetapi semua itu keadaan dulu, sebelum semuanya berubah. Ya. Sekarang hidupnya
hancur, tidak tahu apa yang membuat semuanya terjadi begitu saja, keluarga yang
dulu terlihat begitu membahagiakan, keluarga yang dulu menjadi alasan dia
hidup, sekarang menjadi alasan dia untuk mengakhiri hidupnya.
Difta yang begitu
cantik, memiliki paras wajah yang manis, hidung mancung dengan rambut terbelai
begitu panjang; indah, Difta yang selalu memberikan senyumnya yang menyejukkan,
kini berubah 180 derajat, perbedaan itu terlihat jelas, sejak semuanya berubah
menjadi begitu menyakitkan untuknya. Difta tidak bermaksud berujar kasar kepada
kedua orangtuanya. Hanya saja, keadaan yang begitu melelahkan, keadaan yang
mendorong difta untuk melontarkan semua yang ditahannya selama semingggu
terakhir ini.
Setelah semuanya tertuang dalam kalimat, difta pergi dari rumah
hanya untuk mencari sumber ketenangan, dimana lagi dia harus menangis kencang,
kalau bukan menuju ke tempat Tari berada.
"Tar, lo dimana?" dengan
tenang, difta menghubungi Tari. Tari yang memiliki paras tak kalah manis dengan
Difta, hanya mengerutkan kening di ujung telepon, mengerti nada apa yang
tersirat dari satu pertanyaan itu.
"Gue dirumah, lo kenapa? Lo mau gue
jemput atau bisa sendiri kesini?"
"Kok lo tau? Hahaha gue bisa sendiri""Ta,
please banget, didepan gue jangan munafik, didepan gue jangan sok tegar, gue
tau lo, gue ngerti, dan I will always with you, lo hati-hati dijalan"
Tanpa satu kata penutup, Difta menutup telepon terlebih dulu, tidak mau
mendengar kalimat manis itu lebih panjang karena hanya akan membuang waktu dan
air mata. Tari sahabatnya sejak perkuliahan dimulai, dan sekarang yang dia tahu
bahwa dia hanya memiliki Tari, orang yang dia yakini tidak akan pergi
bagaimanapun keadaan yang akan terjadi.
Difta membuka pintu rumah dan
menghempaskannya begitu saja, tidak peduli kalimat apa yang baru saja dia
dengar dari mulut orang tuanya. ...
“Assalamualaikum” sapa Difta ketika memasuki rumah Tari yang terlihat sepi.
“Waalaikumsalam, eh Difta, ayo masuk, nak” ibu Tari keluar kamar dengan sapaan
yang hangat, mengingatkan Difta akan keadaannya sekarang, jauh dari kehangatan
dan keharmonisan keluarga.
“Ta, langsung ke kamar gue aja” teriakan itu tidak asing lagi bagi Difta, dan
langsung saja dia menjulurkan tangannya, memberi salam dengan sopan dan sedikit
berbasa-basi menanyakan kabar kepada perempuan yang berumur sekitar 45 tahun
didepannya.
“Tan, Difta langsung kekamar Tari ya?” tanya Difta dengan ramah
sambil menyibakkan helaian rambutnya yang panjang. “Iya, Tari sudah nunggu kamu
daritadi” balas perempuan cantik itu dengan tak kalah ramahnya.
Difta menaiki tangga yang terletak di sudut ruang tamu, sambil sesekali menyapu
pandangan dan berdecak kagum dengan interior rumah Tari yang begitu rapi dan
sangat enak dilihatnya. Wajar saja, ibu Tari adalah seorang arsitek ternama di
kota mereka, dan ayahnya adalah salah satu pelukis hebat di Indonesia. Tari
benar-benar beruntung, pikir Difta sambil terus menaiki satu per satu anak
tangga.
Sejenak Difta melupakan kejadian pagi itu, dengan senyum cerianya, Difta
mengetuk pintu dan menyelonong masuk seperti saat dia masuk kamarnya sendiri.
Begitulah mereka, begitulah persahabatan mereka, seperti saudara kandung yang
tidak akan terpisahkan.
"Hallo dear!"
"Sok kuat banget sih! Kenapa?"
"Nggak ada apa-apa kok, gue kangen sama lo aja makanya gue kesini"
Difta seperti anak yang paling bahagia. Bahagia memiliki sahabat seperti Tari
yang selalu ada disampingnya. Tetapi, senyum itu pudar seketika.
"Ta, gue mesti ke luar nih, si Aldo minta temenin gue"
Difta terdiam.
"Ta?" tegur Tari lagi.
"Oh, iya-iya kalo gitu gue balik dulu ya. Thanks for your time"
Difta keluar kamar Tari tanpa mengekspresikan apa yang tersirat dalam satu
kalimat itu. Difta menuruni tangga dengan lesu. Berbeda terbalik dengan saat
dia menaiki tangga 10 menit yang lalu.
"Loh? Mau pulang, ta? Cepet banget. Tante baru mau
nyiapin makanan buat kamu"
"Nggak usah repot-repot tante, Difta ada kerjaan mendadak, Difta pulang
dulu ya, tan. Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam." Ibu Tari menjawab salam dengan raut muka yang bingung.
......
Difta pulang kerumah dengan mata yang membengkak. Selama perjalanan pulang,
Difta hanya menangis. Tanpa tahu kemana dia harus menuangkan segala cerita yang
disimpannya. Kerumah Tari ternyata adalah pilihan yang salah. Tari; sahabatnya
telah berada di ruang yang berbeda. Jauh. Hanya kata itu yang dapat di
gambarkan Difta ketika benaknya menyebutkan nama itu. Difta tidak mengerti takdir
Tuhan yang begitu menyakitkan.
"Mama mana?" Tanya Difta kepada papanya ketika dia memasuki rumah
yang terasa sangat panas siang itu.
"Pergi. Adik sama mama mu milih pergi dari rumah"
"Terus? Papa biarin?" Tangis itu pecah lagi. Hancur. Satu kata itu yang
kini dirasakan Difta.
"Mau gimana lagi?" Jawab papanya enteng.
Difta berjalan menuju kamarnya. Memegang gagang pintu, membukanya, masuk, dan
menutupnya kembali dengan amarah yang sedari tadi di timbunnya. Difta
menghempaskan seluruh tubuhnya ke tempat tidur yang kini menjadi tempat
sandarannya. Perempuan cantik itu tidak memiliki apa yang dia butuhkan saat
ini. Mama, Tari, dan semua kebahagiaannya kini pergi tanpa ingin di kejarnya.
Difta hanya berpikir, jika ini memang takdir Tuhan, dan jika perpisahan adalah
jalan terbaik, dia memilih untuk menghilang selamanya.
Berselang 2 jam berikutnya, Tari memarkirkan mobil mewahnya di halaman rumah
Difta. Dengan air mata yang tidak tertahan, Tari masuk ke rumah berinterior
sederhana itu dan mendapati keramaian orang berbaju hitam.
"Difta!!" Jerit histeris dengan air mata yang tidak mampu untuk
ditampungnya mengalir deras. Tari menjatuhkan tubuhnya tepat dimana Difta
terbaring dengan kain yang menutupi semua tubuhnya.
"Tari, tante nemuin surat buat kamu di kamar Difta, belum tante buka"
Tari hanya menjulurkan tangan kanannya untuk mengambil surat itu, dan kembali
menangis ketika tangan kirinya menyibakkan kain yang menutupi bagian kepala
Difta.
Tari hanya bisa menangis ketika dia membayangkan bahwa Difta pergi meninggalkannya
bukan untuk beberapa hari melainkan untuk selamanya.
......
"Hallo dear! Maaf banget buat kebodohan terbesar ini. Aku capek. Aku gak
kuat. Aku gak tahu harus gimana. Bukan salah kamu, bukan salah kamu yang
ninggalin aku tadi pagi, jangan nyalahin diri sendiri ya! Ini salah aku kenapa
aku nggak bisa lebih kuat, salah aku kenapa aku nggak jujur sama kamu pas kamu
nanya ada apa. Udah, sekarang nggak perlu ngomongin siapa yang salah, dari
surat ini aku cuma mau bilang makasih banyak buat selama ini, kamu satu-satunya
yang terbaik, kamu harus inget; orang yang keliatannya gak butuh, justru itu
yang paling butuh. Jangan ditangisin terus, ya! Ohya, happy birthday buat kamu
besok, ya. Maaf aku udah nggak bisa selalu ada di samping kamu, semoga kamu
tetap menjadi yang terbaik"