wanna be a writer and a famous pianist as soon as possible , I just wanna make them proud of me

Sunday, May 25, 2014

HILANG


   "STOP!!"
  Satu kata mengawali pagi itu, Difta membuka pintu dan keluar dari kamarnya dengan air mata yang mengalir deras.

  "Kalian bisa sehari gak ribut? Kalian bisa setidaknya menghargai kami? Kami ini siapa? Kami ini anak kalian, ma, pa! Please, Arin masih terlalu kecil buat tertekan karena keributan kalian yang seminggu ini gak pernah stop! Difta capek, difta capek ma, pa!" semuanya tumpah, kejujuran yang selama ini tertahankan. 

  Difta Rishab; anak pertama dari dua bersaudara, hidup di tengah keluarga yang penuh humor, keluarga yang selalu tersenyum, tetapi semua itu keadaan dulu, sebelum semuanya berubah. Ya. Sekarang hidupnya hancur, tidak tahu apa yang membuat semuanya terjadi begitu saja, keluarga yang dulu terlihat begitu membahagiakan, keluarga yang dulu menjadi alasan dia hidup, sekarang menjadi alasan dia untuk mengakhiri hidupnya.
  Difta yang begitu cantik, memiliki paras wajah yang manis, hidung mancung dengan rambut terbelai begitu panjang; indah, Difta yang selalu memberikan senyumnya yang menyejukkan, kini berubah 180 derajat, perbedaan itu terlihat jelas, sejak semuanya berubah menjadi begitu menyakitkan untuknya. Difta tidak bermaksud berujar kasar kepada kedua orangtuanya. Hanya saja, keadaan yang begitu melelahkan, keadaan yang mendorong difta untuk melontarkan semua yang ditahannya selama semingggu terakhir ini.
  Setelah semuanya tertuang dalam kalimat, difta pergi dari rumah hanya untuk mencari sumber ketenangan, dimana lagi dia harus menangis kencang, kalau bukan menuju ke tempat Tari berada. 
  "Tar, lo dimana?" dengan tenang, difta menghubungi Tari. Tari yang memiliki paras tak kalah manis dengan Difta, hanya mengerutkan kening di ujung telepon, mengerti nada apa yang tersirat dari satu pertanyaan itu.
  "Gue dirumah, lo kenapa? Lo mau gue jemput atau bisa sendiri kesini?"
  "Kok lo tau? Hahaha gue bisa sendiri""Ta, please banget, didepan gue jangan munafik, didepan gue jangan sok tegar, gue tau lo, gue ngerti, dan I will always with you, lo hati-hati dijalan" Tanpa satu kata penutup, Difta menutup telepon terlebih dulu, tidak mau mendengar kalimat manis itu lebih panjang karena hanya akan membuang waktu dan air mata. Tari sahabatnya sejak perkuliahan dimulai, dan sekarang yang dia tahu bahwa dia hanya memiliki Tari, orang yang dia yakini tidak akan pergi bagaimanapun keadaan yang akan terjadi. 
  Difta membuka pintu rumah dan menghempaskannya begitu saja, tidak peduli kalimat apa yang baru saja dia dengar dari mulut orang tuanya. ...
  “Assalamualaikum” sapa Difta ketika memasuki rumah Tari yang terlihat sepi.
 “Waalaikumsalam, eh Difta, ayo masuk, nak” ibu Tari keluar kamar dengan sapaan yang hangat, mengingatkan Difta akan keadaannya sekarang, jauh dari kehangatan dan keharmonisan keluarga.
  “Ta, langsung ke kamar gue aja” teriakan itu tidak asing lagi bagi Difta, dan langsung saja dia menjulurkan tangannya, memberi salam dengan sopan dan sedikit berbasa-basi menanyakan kabar kepada perempuan yang berumur sekitar 45 tahun didepannya. 
  “Tan, Difta langsung kekamar Tari ya?” tanya Difta dengan ramah sambil menyibakkan helaian rambutnya yang panjang. “Iya, Tari sudah nunggu kamu daritadi” balas perempuan cantik itu dengan tak kalah ramahnya.
  Difta menaiki tangga yang terletak di sudut ruang tamu, sambil sesekali menyapu pandangan dan berdecak kagum dengan interior rumah Tari yang begitu rapi dan sangat enak dilihatnya. Wajar saja, ibu Tari adalah seorang arsitek ternama di kota mereka, dan ayahnya adalah salah satu pelukis hebat di Indonesia. Tari benar-benar beruntung, pikir Difta sambil terus menaiki satu per satu anak tangga.

  Sejenak Difta melupakan kejadian pagi itu, dengan senyum cerianya, Difta mengetuk pintu dan menyelonong masuk seperti saat dia masuk kamarnya sendiri. Begitulah mereka, begitulah persahabatan mereka, seperti saudara kandung yang tidak akan terpisahkan.
  "Hallo dear!"
  "Sok kuat banget sih! Kenapa?"
  "Nggak ada apa-apa kok, gue kangen sama lo aja makanya gue kesini"
  Difta seperti anak yang paling bahagia. Bahagia memiliki sahabat seperti Tari yang selalu ada disampingnya. Tetapi, senyum itu pudar seketika.
  "Ta, gue mesti ke luar nih, si Aldo minta temenin gue"
Difta terdiam.
  "Ta?" tegur Tari lagi.
  "Oh, iya-iya kalo gitu gue balik dulu ya. Thanks for your time"

  Difta keluar kamar Tari tanpa mengekspresikan apa yang tersirat dalam satu kalimat itu. Difta menuruni tangga dengan lesu. Berbeda terbalik dengan saat dia menaiki tangga 10 menit yang lalu. 

  "Loh? Mau pulang, ta? Cepet banget. Tante baru mau nyiapin makanan buat kamu"
  "Nggak usah repot-repot tante, Difta ada kerjaan mendadak, Difta pulang dulu ya, tan. Assalamualaikum"
  "Waalaikumsalam." Ibu Tari menjawab salam dengan raut muka yang bingung.
......
  Difta pulang kerumah dengan mata yang membengkak. Selama perjalanan pulang, Difta hanya menangis. Tanpa tahu kemana dia harus menuangkan segala cerita yang disimpannya. Kerumah Tari ternyata adalah pilihan yang salah. Tari; sahabatnya telah berada di ruang yang berbeda. Jauh. Hanya kata itu yang dapat di gambarkan Difta ketika benaknya menyebutkan nama itu. Difta tidak mengerti takdir Tuhan yang begitu menyakitkan.
  "Mama mana?" Tanya Difta kepada papanya ketika dia memasuki rumah yang terasa sangat panas siang itu.
  "Pergi. Adik sama mama mu milih pergi dari rumah"
  "Terus? Papa biarin?" Tangis itu pecah lagi. Hancur. Satu kata itu yang kini dirasakan Difta.
  "Mau gimana lagi?" Jawab papanya enteng.

  Difta berjalan menuju kamarnya. Memegang gagang pintu, membukanya, masuk, dan menutupnya kembali dengan amarah yang sedari tadi di timbunnya. Difta menghempaskan seluruh tubuhnya ke tempat tidur yang kini menjadi tempat sandarannya. Perempuan cantik itu tidak memiliki apa yang dia butuhkan saat ini. Mama, Tari, dan semua kebahagiaannya kini pergi tanpa ingin di kejarnya. Difta hanya berpikir, jika ini memang takdir Tuhan, dan jika perpisahan adalah jalan terbaik, dia memilih untuk menghilang selamanya.

  Berselang 2 jam berikutnya, Tari memarkirkan mobil mewahnya di halaman rumah Difta. Dengan air mata yang tidak tertahan, Tari masuk ke rumah berinterior sederhana itu dan mendapati keramaian orang berbaju hitam.
  "Difta!!" Jerit histeris dengan air mata yang tidak mampu untuk ditampungnya mengalir deras. Tari menjatuhkan tubuhnya tepat dimana Difta terbaring dengan kain yang menutupi semua tubuhnya.
  "Tari, tante nemuin surat buat kamu di kamar Difta, belum tante buka"

  Tari hanya menjulurkan tangan kanannya untuk mengambil surat itu, dan kembali menangis ketika tangan kirinya menyibakkan kain yang menutupi bagian kepala Difta.
  Tari hanya bisa menangis ketika dia membayangkan bahwa Difta pergi meninggalkannya bukan untuk beberapa hari melainkan untuk selamanya.
......
"Hallo dear! Maaf banget buat kebodohan terbesar ini. Aku capek. Aku gak kuat. Aku gak tahu harus gimana. Bukan salah kamu, bukan salah kamu yang ninggalin aku tadi pagi, jangan nyalahin diri sendiri ya! Ini salah aku kenapa aku nggak bisa lebih kuat, salah aku kenapa aku nggak jujur sama kamu pas kamu nanya ada apa. Udah, sekarang nggak perlu ngomongin siapa yang salah, dari surat ini aku cuma mau bilang makasih banyak buat selama ini, kamu satu-satunya yang terbaik, kamu harus inget; orang yang keliatannya gak butuh, justru itu yang paling butuh. Jangan ditangisin terus, ya! Ohya, happy birthday buat kamu besok, ya. Maaf aku udah nggak bisa selalu ada di samping kamu, semoga kamu tetap menjadi yang terbaik" 

PAPA

Begitu sulit mencari sumber kebahagiaan.

   Begitulah yang ada dibenakku pagi ini. Matahari tidak kunjung datang dalam tiga hari belakangan. Suara yang selalu aku rindukan menjadi hantu yang terus mengusik setiap bangun pagiku dan setiap malam tidurku.

Jalanan seperti kehidupanku. Lurus namun sepi.

   Aku melihat lelaki tua terduduk lemah disudut jalan kota yang begitu banyak membuatku mengenal arti kehidupan yang begitu sulit untuk aku jalani sendiri. Aku berhenti berjalan. Mobil dan motor mulai meramaikan pagi ini. Dan akhirnya, matahari terlihat lagi. Aku terus memandangnya, dan semua terasa sesak. Aku kembali teringat akan sosok lelaki tua yang kini terbaring lemah tak berdaya di sebuah ruangan yang teramat sepi baginya. Tanpa sadar, air mataku jatuh perlahan. Aku menyeka dengan jari-jari yang melekat pada tangan kananku. 
   Aku kembali berjalan namun mataku tidak lepas dari sosok yang semakin dekat. Aku menghampirinya dan duduk berjongkok dihadapannya, mengeluarkan sebungkus roti yang aku bawa untuk bekal sarapanku selama diperjalanan yang akan memakan waktu dua jam untuk sampai di kampus ku.
  “Terimakasih, nak.” Suara berat itu kembali mengingatkan aku dengan suara yang kini semakin aku rindukan. Parasnya yang begitu rapuh, kesepian yang menguap dalam matanya. Teduh. Seperti orang yang sangat aku butuhkan saat ini.
   Senyumku menjawab semuanya. Aku kembali berdiri dan kembali menatap apa yang harus aku jalani.
…..
   Sepulang kuliah aku tidak pernah langsung melangkahkan kaki ke rumahku sendiri. Seperti hari ini, aku sengaja pulang lebih awal dari kampusku hanya untuk pergi menemui orang yang sangat berarti dalam hidupku.
   Kini aku berdiri didepan pintu rumahnya. Menunggunya berjalan tertatih untuk membukakan pintu untukku. 
   “Hallo, anakku” Sapaan yang selalu khas di telingaku.
   Aku menopang langkahnya. Sama seperti saat aku terduduk lesu menangis di sudut kamarku, beberapa tahun yang lalu, dan dia datang untuk menopangku menuju kamarnya, memberikan semua alasan mengapa dia sangat menyayangiku seperti dia menyayangi anak kandungnya sendiri, seperti dia menyayangi separuh jiwanya.  Kaki yang dulu kuat menggendongku, kini menjadi rapuh tak berdaya.
   “Sudah makan? Mau papa suapin?” Tanpa menjawab pertanyaannya, aku duduk di lantai menghadapnya, dia berdiri dengan sekuat tenaga, menggenggam erat pinggiran sofa, lalu bangkit dengan satu hembusan nafas. Aku hanya bisa melihatnya dari sudut mataku, menyembunyikan tetesan air mata, melihat semua kelemahan yang kini semakin terlihat jelas, semua telah berubah, pikirku.

   Seusai makan, aku bergegas membereskan semua piring kotor yang berserakan diatas meja sebelum dia yang melakukannya dengan susah payah. Aku sangat tahu bahwa semua hal kecil yang aku lakukan seperti ini tidak akan mampu membalas semua cinta kasih yang dia beri selama 19 tahun ini. Ya. Dari kecil, bahkan dari aku berumur 1 hari, aku memanggilnya papa, aku telah menjadi peri kecilnya, peri kecil yang selalu menjadi pusat perhatiannya, yang selalu manja, yang selalu menangis dalam pelukannya, yang selalu menghabiskan coklat yang ada di kantung baju dalam lemarinya. Papa begitu menyayangiku hingga aku lupa akan kasih sayang kedua orang tuaku dirumah. Papa begitu mencintaiku hingga aku lupa akan cinta dari keluarga besarku.
   “Sudah beres?” Pertanyaan itu mampu membuyarkan semua lamunanku. Tanpa sadar, aku sudah kembali duduk disampingnya, kali ini berdampingan dengannya.
   “Nak,” panggilan yang begitu menyejukkan. Aku terhenyak ketika aku harus menoleh ke arahnya, harus melihat dengan dekat paras wajahnya yang semakin tua, yang semakin terlihat sepi, yang semakin terlihat rapuh. Oh Tuhan, sanggupkah aku untuk hidup di dua tempat dengannya?

   Dia membenarkan posisi duduknya, lebih mendekat. Sentuhan hangat menjalar di kepalaku. Dia mengusap rambutku sama persis ketika sewaktu kecil aku menceritakan hal yang membuat aku menangis, lalu dengan lembut dia membelaiku.
   “Kamu mau papa nangis?”
   “Nggak”
   “Kalau begitu, berhentilah menangis, lihat di lemari itu, ada sesuatu untuk kamu”

   Aku yang saat itu berumur kurang lebih 6 tahun berlari kecil sambil mengusap air mataku, membuka lebar pintu lemari pakaiannya, dan merogoh kantung kemeja yang biasa memberikan nilai tambah untuk ketampanannya.
   “Coklat!!” aku begitu bahagia saat itu. Menjerit histeris tanpa peduli dengan sisa air mataku.
   “Bilang apa?” satu pertanyaan yang dengan cepat aku jawab “Thank you.”

   Aku berada dipelukannya lama. Lama sekali. Sampai aku lupa tentang coklat yang ada di genggamanku saat itu.
   
   Sentuhan hangat itu membuatku terhanyut akan kenangan dulu. Suara penuh harap yang dia lontarkan dari ujung lidahnya kembali mampu membuatku tersentak dan tersadar dari lamunanku.
   “Kamu harus janji satu hal sama papa.”
   “Apa, pa?” Kali ini tangan kanannya yang dulu hampir setiap hari mengaduk susu buatannya special untuk peri kecilnya ini menggenggam erat tanganku.
   “Kamu tidak boleh dan jangan sampai mengeluarkan air mata yang terlalu banyak untuk suatu saat nanti. Kamu harus ingat, semua yang telah Tuhan gariskan kepada kita, itu adalah yang terbaik, dan kamu harus selalu ingat papa akan lebih bahagia jika melihat kamu tersenyum. Kamu mengerti maksud papa?”

   Aku terdiam. Merasakan panas di ujung kelopak mataku. Sekujur tubuhku lemas seketika, rasa kuat yang selama ini selalu menjadi penutup kelemahanku bergejolak hebat, ingin rasanya aku menjerit bahwa aku tidak akan pernah bisa sanggup tanpanya, ingin rasanya aku memeluk tubuh yang dulu begitu erat memelukku, ingin rasanya aku berteriak tepat ditelinganya bahwa aku benar-benar tidak akan pernah merasakan kehidupan yang berarti jika aku hidup tanpa dirinya.
   “Iya, pa.”

   Kenangan yang sudah sekian lama aku simpan rapi dalam hatiku menjerit ingin keluar dari jeruji besi pikiranku. Saat semua membuatku menangis, hanya satu yang bisa membuatku bertahan untuk tersenyum.
   “Kenapa kamu nangis?” Tanyanya beberapa tahun silam.
   “Difta gak salah tapi Difta yang di marahin, pa” aku menangis, berjongkok di sudut ruang tamu sore itu.
   “Mau coklat? Ayo kita ke kamar papa.” Dia mengulurkan tangannya, membantuku untuk bangkit berdiri, menggendongku dan membawaku masuk ke kamarnya.
   “Nak,” panggilnya. Aku menoleh ketika aku sudah mendarat bebas di atas tempat tidur yang selalu membuatku merasa nyaman diatasnya.
   “Kamu dengarkan papa, kamu tidak boleh jahat sama orang yang jahat sama kamu, kamu tidak boleh dendam sama orang yang sudah buat kamu menangis, ini coklatnya, dan keluarlah, beri coklat itu untuk orang yang sudah membuat kamu menangis, kalau semua sudah kamu berikan dengan adil, kamu kembali ke kamar papa, kamu akan dapat tiga coklat dari papa.”

   Papa. Dia yang mengajarkan semua kebaikan di dalam kehidupanku. Aku tidak akan pernah bisa dan mampu membayangkan bagaimana aku kelak jika aku tidak lagi memiliki dia yang begitu berperan penting dalam setiap keindahan dalam hidupku. Membayangkan semua yang menjadi hal terburuk sekalipun, air mata ini tidak mampu tertahankan. Bagaimana kehidupanku nanti?

   Satu hal yang membuatku tersadar, bahwa dia adalah salah satu motivasi besar dalam perjalananku, dalam setiap hal yang aku lakukan.

   Perjanjian yang ada mampu membuatku mengerti bahwa aku hidup untuknya, aku hidup atas dasar cinta dan kasih sayangnya, aku hidup dan aku bahagia karena kebahagiannya.


-End-




Friday, May 23, 2014

New


Orang yang selalu menuruti apa maumu
Orang yang selalu berjuang untuk masa depanmu
Orang yang tanpa lelah menyayangimu tanpa kenal siapa kamu sebenarnya
Orang yang rela memperjuangkan hidupnya untukmu
Orang yang selalu mengajarkanmu semua kebaikan yang harus di lakukan di dunia
Orang yang tidak pernah membuatmu menangis sekalipun.

Dia yang berkata "sejahat apapun orang sama kamu, jangan pernah kamu balas untuk menyakitinya"
Dia yang pernah berkata "berjanjilah suatu saat, kamu harus kuat, kamu justru harus bahagia, karena itu adalah sebuah kedamaian untukku dan aku akan bahagia disana"
Dia yang selalu meyakinkan "semua perjuangan ini adalah untuk masa depanmu, semua selesai, maka berakhirlah, dan aku akan benar-benar tenang menghadapnya"
Semua kalimat ini nyata.
Semua kalimat ini adalah kalimat yang tertangkap oleh telinga; dalam beberpa hari yang lalu..

Orang yang selalu menuruti apa maumu
Orang yang selalu berjuang untuk masa depanmu
Orang yang tanpa lelah menyayangimu tanpa kenal siapa kamu sebenarnya
Orang yang rela memperjuangkan hidupnya untukmu
Orang yang selalu mengajarkanmu semua kebaikan yang harus di lakukan di dunia
Orang yang tidak pernah membuatmu menangis sekalipun.

Dia yang berkata "sejahat apapun orang sama kamu, jangan pernah kamu balas untuk menyakitinya"
Dia yang pernah berkata "berjanjilah suatu saat, kamu harus kuat, kamu justru harus bahagia, karena itu adalah sebuah kedamaian untukku dan aku akan bahagia disana"
Dia yang selalu meyakinkan "semua perjuangan ini adalah untuk masa depanmu, semua selesai, maka berakhirlah, dan aku akan benar-benar tenang menghadapnya"
Semua kalimat ini nyata.
Semua kalimat ini adalah kalimat yang tertangkap oleh telinga; dalam beberpa hari yang lalu..

Allah.
Untuk yang kesekian kali nya perempuan ini membuka tangan, memohon dalam tangisnya untukMu.
Allah.
Perempuan ini hanya memohon panjangkan rentan waktunya bersama orang yang kini menjadi alasan kelemahannya. Izinkan perempuan ini mengukir senyuman indah untuknya. Izinkan perempuan ini mendapat ucapan "selamat" dalam hari-hari bahagianya kelak.
Allah.
Jika memang takdirMu berkata lain, perempuan ini hanya meminta satu kekuatan. Kekuatan untuk bertahan lebih dari ini.
Allah.
Aku dan perempuan ini yakin, TakdirMu adalah yang Terbaik.

Ya allah.
Ketakutan ini semakin kuat.
Ketakutan ini semakin nyata.
Ya allah.
Hamba mohon
Hamba mohon kepadamu ya Robb
Apa yang harus hamba lakukan
Apa yang harus hamba berikan
Nyawa? Ambil ya allah. Jika itu bisa menggantikan semuanya. Hamba ikhlas. Hamba hanya ingin dia bahagia ya Allah. Hamba mohon.. Hamba hanya ingin dia melihat hamba dengan toga sebagai hasil dari semua kesibukan hamba selama ini
Hamba ingin memberikan hasil keringat hamba untuknya ya Allah
Izinkan hamba
Izinkan hamba melakukannya
Izinkan hamba memiliki harapan ini
Dan izinkan hamba untuk mewujudkannya ya Robb..


Beberapa makhluk Tuhan

Beberapa makhluk ciptaan Tuhan yang baru masuk ke dalam kehidupan yang fana ini.
Mengetuk pintu. Dipersilahkan untuk masuk dan singgah beberapa saat.
Kenyamanan itu terus terasa nyata. Indah. Bahkan terasa candu.
Kenyamanan yang mereka bawa membuatku seperti terbang ke atas langit yang begitu tinggi melihat semua sisi kehidupan yang lain; yang tidak pernah aku lihat sebelumnya.
Sesaat atau sementara. Dua hal yang terbesit nyata di dalam benak dan pikiran ini. Tetapi semakin hari semakin penuh makna. Semakin hari semakin banyak cerita.
Mengajarkan aku tentang bagaimana menyikapi seluruh sisi kehidupan yang berselimut masalah. Mengajarkan aku tentang bagaimana kerasnya ketidakberdayaan dalam kehidupan. Mengajarkan aku tentang bagaimana harus mencari sesuatu yang lebih berarti. Mengajarkan aku tentang bagaimana memperjuangkan kebahagiaan kecil yang ada di dalam hari. Mengajarkan aku tentang bagaimana lelahnya tertawa lepas tanpa beban dan apapun yang membatasi diri.
Kedatangan yang tidak pernah terencana.
Kedatangan yang sebelumnya tanpa sebuah undangan.
Kedatangan yang benar-benar tidak di sengaja.

Semoga aku dan beberapa makhluk dari Tuhan yang untuk saat ini berada pada level tertinggi dalam hati yang begitu terlihat baik-baik saja untuk selalu terlihat abadi.

Terima kasih atas kunjugan yang kalian sempatkan untuk rumah hati kecilku
Terima kasih atas semua pembelajaran yang kalian ajarkan dengan penuh kesabaran.
Terimakasih atas segala bentuk kasih sayang yang kalian tunjukkan.
Terimakasih atas semua cara yang kalian gunakan untuk membuat hati ini kembali utuh dan membuat bintang bersinar kembali dalam mata dan hatiku.