wanna be a writer and a famous pianist as soon as possible , I just wanna make them proud of me

Thursday, November 6, 2014

Late Post

3 Oktober 2014

Perasaan kosong.
Maunya nangis teriak, but for what? 
Ga ada alasan yang mendasari itu. 
Yang diperluin cuma isi dari apa yang di sebut "kosong".

Ada kalanya otak ini jenuh dengan pikiran-pikiran yang selalu tanpa ujung. 
Kalanya? Sekarang? Mungkin. 
Hati ingin sekali menjerit. 
Menjerit tanpa tahu tertuju kepada siapa. Menjerit tanpa tahu alasan yang ada.. 

Semua begitu singkat. 
Semua begitu menyakitkan. 
Semua begitu mudah untuk kamu lakukan. 

Kamu akan tahu semua yang ada di dua sumber suara ini. 
Kamu akan berada di satu titik yang posisi yang sama dengan satu titik disini. 
Kamu akan tahu bagaimana diabaikan. 
Kamu akan tahu bagaimana di lupakan. 
Kamu akan tahu bagaimana rasanya jika kamu merasa dimanfaatkan dalam situasi yang orang lain ciptakan. 

Kamu hebat. 
Kamu seperti Tuhan yang merencanakan setiap kejadian dengan sempurna, hanya saja kamu adalah manusia yang akan ada saatnya berada pada titik posisi manusia yang lainnya, terutama posisi bodoh ini. 

Selamat! 
Kamu sukses untuk membuatku tercengang hebat dengan semua yang sudah kamu lakukan beberapa waktu belakangan ini! 

Dan kamu hebat! 
Hebat karena kamu membuat semuanya menjadi mudah untuk kamu mendapatkan apa yang telah kamu lakukan! 

Welcome! 
Welcome to karma’s Zone! 

Kamu akan tahu semua jika waktunya telah tiba.

bodoh!

Aku merasa bodoh. Bodoh sekali. Aku merasa terlalu bodoh untuk terus dibodohi. Hati ini menjerit sakit.
Kamu tahu?Aku rasa kamu bahkan sudah melupakan semua. 
Salah satu sahabat pernah mengatakan bahwa satu kesalahan tidak secara langsung bisa menghapus sepuluh kebaikan. 

Aku mengerti. Aku paham detail arti dari kata-kata yang tersusun dalam kalimat itu. Hanya saja, aku tidak bisa membuat semua itu menjadi apa yang aku lakukan sekarang. 
Ya, sekarang. Ada penekanan kata di dalam setiap huruf didalamnya. 

Karena sebelumnya aku masih saja memperhatikan detail gerak-gerikmu. 
Masih saja peduli tentangmu. 
Masih saja duduk seperti orang tolol hanya untuk menunggu kamu datang dan duduk disebelahku, bercerita, bercanda-seperti biasanya-. 

Sekarang? 
Mungkin kebodohan itu semakin lama akan semakin pudar seiring dengan semua kesadaran dari kesakitan yang aku rasakan. 
Aku mungkin akan berusaha untuk tidak peduli lagi pada setiap apa yang kamu lakukan. 
Aku juga mungkin akan berusaha menutup telinga dan segala tentangmu akan aku jadikan isi dari buku kenangan. 

Terimakasih karena kamu sudah pernah terlibat dalam setiap masalah yang ada didalam hidup aku. 

Terimakasih karena kamu sudah pernah melakukan yang terbaik. 

Hiduplah dalam hidupmu. 
Lakukan setiap apa yang kamu inginkan. 

Rasa sesak dan sakit ini sudah menghantarkan aku di titik ini. 
Titik dimana aku berusaha untuk menjadi orang jahat.

Orang jahat yang terluka namun tidak ingin melukai siapapun didalamnya.
Orang jahat yang tetap melakukan apapun     yang ingin dilakukan tetapi tetap mendengarkan apa yang hati bicarakan. 

Orang jahat yang tidak akan menciptakan "karma" . 

-bye-



haloha!

Long time no see my lovely blog!
blog yang udah jadi tempat terakhir gue kalo gue udah lelah udah gatau lagi mau ngungkapin isi hati gue kemana dan kesiapa! 

Kabar gue buruk. 
Hati gue udah hancur banget mungkin. Gue juga gak tau persis gue kenapa.
Cuma gue ngerasa gue jadi orang yang pantes buat dikasihani. 


Orang yang sebagian besar berperan dalam setiap tulisan yang gue tulis disini, udah jadi debu.

Dia udah menghilangkan semua yang dia baca.
Dia jauh.
Dia memilih pilihan yang semestinya gak ada. 

Kata orang, gue mesti harus lebih sabar. Sabar itu diem dan terima disakitin? 
Itu lebih bodoh gak sih?

Gue tau gue gaboleh jahat. Tapi, kalo gue terus-terusan sesak sakit dan semacamnya, apa gue masih harus diem tanpa ngelakuin apapun? 
Gue emang diem.
Karena gue berkoar-koar pun rasanya percuma. Sia-sia.
Gue diem, tapi gue juga ngelakuin sesuatu.

Menjauh. Yaps! Gue milih buat mundur dan menjauh bahkan kalo bisa gue udah menghilang pergi jauh dari dia.

Udah cukup gue diem. Gue diem bisa bikin gue lebih di injek.
Gue gamau. Sakit. Sakit banget. 

Kalian yang baca ini mungkin ada yang  bertanya-tanya kenapa gue bisa nulis tulisan yang (tumben) begini. 

Jawabannya cuma satu. Sesak. Hati gue penuh. Penuh dengan sesak. 
Bukan karena sesak asap di kotague, cuma sesak karena tingkahnya dia. 
Dia? Dia siapa? Dia temen gue. Temen-yang-pernah-gue-cap-sebagai-temen-terbaik. 


Bayangin!! Temen terbaik gue bikin gue nulis ampe begini. Sangkin sesaknya hati gue kali ya? Gue juga gatau. Tapi dia nyakitin gue ga separah yang kalian bayangin.



Dia nyakitin gue dengan sikap. Sikap dia yang bikin gue sesak sekarang. Sikap dia yang bikin gue sakit hati. Sikap dia yang bikin gue agak sedikit jahat. Sikap dia yang bikin gue milih buat ngejauh dan mundur dari dia.

Dia berubah.
Dan sampai kapanpun gue gasuka sama perubahan dia yang sekarang.


Sorry kalo misalnya "lo" baca dan  "lo" ngerasa, gue nulis ini emang sengaja biar lo bisa baca.
Gue yakin lo pasti baca. Gue mau lo tau apa yang gue rasain dari diemnya gue di depan lo.


Sorry kalo nyali gue gak tinggi buat ngomong langsung. 



Gue cuma taunya lo udah jauh banget, buat ngomog aja kayak ada dinding, berjarak, dari kalimat yang lo keluarin pun kedengeran banget kalo lo takut salah ngomong. 



Sejak kapan lo gitu? 

Friday, August 22, 2014

Siapa?

Kalo di tanya sakit atau nggak, jawabannya "iya".
Siapa yang nggak sakit, saat kamu butuh sama orang, orangnya nggak ada, dan saat orang itu butuh kamu, kamu selalu ada.
Siapa yang nggak sakit, saat orang yang kamu anggap penting malah mengasingkan kamu.
Siapa yang nggak sakit, saat kamu menganggap tapi malah diacuhkan.
Siapa yang nggak sakit, ketika orang yang tadinya deket ketika dia belum memiliki apa yang menyenangkan buat dia, sekarang kayak ngebuang sampah sembarangan.
Siapa yang nggak sakit, ketika di jadiin tempat "pelarian".
Siapa yang nggak sakit, ketika di jadiin tempat "persinggahan"

Siapa yang nggak sakit? Siapa?
Manusia ini cuma sekadar manusia biasa. Yang bisa meledak seperti bom yang punya kekuatan ledakan terhebat.

Wednesday, August 13, 2014

Masih (akan)

Berusaha mencari inspirasi terkadang terlalu sulit.

Kamu terlalu jauh sudah. Terlalu susah tenggorokan ini untuk menahan jeritan namamu. Nama kamu sudah sangat jarang di terima oleh gendang telingaku.
Entah. Racun apa yang sudah kamu masukkan dalam tubuhku. Aku sudah terlalu kaku untuk bertemu denganmu. Jangankan untuk bicara, hanya sekadar tersenyum atau berjabat-tangan pun aku merasa canggung.
Kamu ingat tidak yang menjadi kebiasaan saat kecanggungan itu belum ada?
Apa kamu masih bisa mengingatnya? Atau.. Ingatanmu hanya tertuju pada apa yang ada dalam hidupmu sekarang? Yang baru menghampirimu itu? Iya? Baiklah. Tidak masalah buatku, hanya saja..aku takut kamu menghadapi keadaan dimana semuanya berbalik arah. Maksudku, karma memang tidak boleh kita yakini ada, tetapi, kebalikan untuk keadaan, masih berlaku 'kan? Faktapun begitu.
Pasti kamu berpikir aku jahat? Jahat karena aku seperti mendoakanmu untuk merasakan semua ini? Kamu salah besar. Walaupun kamu sekarang sudah tidak lagi dapat aku panggil, atau bahkan tidak lagi dapat menoleh ke arahku, aku tetap mendoakan semua yang terbaik buat kamu. Kalau yang terjadi adalah kamu menjadi aku di suatu saat, mungkin itu adalah hal terbaik.
Kedewasaan masih sangat di butuhkan, ternyata.
Dewasa dalam bersikap.
Dewasa dalam berpikir.

Aku tidak dapat berucap banyak jika aku berada tepat didepan kamu. Karena aku yang kamu kenal adalah seorang penulis yang sangat suka menulis dibandingkan berbicara. Bukankah itu julukan yang sering sekali kamu jadikan senjata untuk menjadi menyebalkan untukku?

Pertanyaan yang sangat ingin aku tanyakan langsung padamu adalah Apakah kamu sadar dengan semua kecanggungan yang ada sekarang ini? Apakah kamu ingin mengupas semua alasan dibalik semua itu? Apakah kamu ada sedikit niat untuk berusaha mencairkan semua kekakuan yang tercipta sekarang? Apakah kamu ada keinginan untuk mengembalikan semua kebiasaan yang sekarang menjadi satu kecanggungan?

Kamu tahu?
Aku masih (akan) tetap di tempat semula. Di tempat awal aku berdiri. Aku masih (akan) menjadi tempat yang siap kapan saja untuk kamu jadikan pelabuhan tangis yang mungkin akan kamu luapkan. Aku masih (akan) menjadi tempat singgah di saat kamu merasa kehilangan orang yang menghampirimu dalam waktu sesaat. Aku masih (akan) menjadi tempat yang seharusnya kamu cari saat kamu sudah sangat lelah dalam berjalan dan membutuhkan telinga untuk mendengar semua keluhan dalam setiap perjalananmu. Aku masih (akan) menjadi tempat yang menyimpan alat petunjuk arah yang siap kapan saja kamu perlukan.

Tuesday, August 5, 2014

Butuh

Gue gak tau tiba-tiba gue terus kecanduan buat nulis.
Dan sekarang objek yang jadi sasaran adalah dia yang emang selalu gue tulis.

Ah sudahlah, semuanya udah berubah sekarang.
Banyak hal yang dia lakuin, banyak hal juga yang gue liat yang bikin gue punya pikiran sebodoh ini.

Gue gak ngerti zaman sekarang pertemanan itu seperti apa? Eh, bukan pertemanan, tapi juga persahabatan.

Persahabatan itu apa sih?
Dua orang yang selalu berbagi?
Yang selalu saling dengar cerita?
Yang tau semua cerita?
Yang selalu ada?

Oh no, gue rasa semua orang bisa ngelakuin semua hal itu dan apakah itu benar-benar bisa disebut sahabat???

Opini gue, sahabat itu orang yang selalu jujur, yang nampar lo ketika ko berbuat salah, dia nggak bakalan ragu buat ngedorong lo, nampar lo sekeras apapun itu karena yang dia mau adalah lo berubah! Lo berubah jadi yang terbaik di mata orang. Sesulit apapun itu dia bakalan usaha banget buat bikin lo sadar lo salah, bikin lo ngeubah satu kebiasaan buruk lo, ngebaikin semua sikap jelek lo dan walaupun semua itu emng udah melekat di dalam diri lo tapi dia tetep yakin bahwa lo harus dan bisa untuk berubah! Bukan malah dia yang takut buat ngomog ke lo karena dia takut lo kepancingg emosi. Bukan malah dia yang nutupin dan malah memperkeruh keadaan. Bukan malah dia yang bilang "rahasia" ketika lo nanya apa yang orang lain nilai tentang lo!

Gue kecewa.
Gue marah.
Gue kesal.
Tapi apa yang harus gue lakuin? Nggak ada!

Jujur, gue benar-benar kecewa sama apa yang dia lakuin. Gue mau marah cuma gue bisa apa? Yang ada sekarang keadaan sama sekali sulit buat gue ngertiin.
Tapi yang gue sadar, ini petunjuk dari apa yang gue minta dari Allah. Sekarang gue tau yang selama ini gue lakuin yang udah gue anggap patut buat di lakuin oleh seorang sahabat itu salah besar, gue salah langkah, gue bodoh nganggap orang yang sama sekali belum tentu punya pikiran yang sama.

Gue butuh orang yang bisa ngerubah gue. Gue butuh orang yang bisa buat gue berkembang. Gue butuh orang yang bisa ngebuat gue jalan di jalan yang benar. Gue butuh orang yang nguatin gue. Gue butuh orang yang bikin gue sadar bahwa semua yang gue lakuin sekarang dan apa yang gue lakuin yang menurut gue itu baik atau terbaik belum tentu jadi yang baik dan yang terbaik di mata orang lain.

Buat lo !

Malam ini gue mau sedikit ngelakuin senam jempol buat salah satu orang yang jadi alasan gue ngelakuin satu perubahan dalam hidup gue.

Dia datang ke hidup gue beberapa tahun silam. Tapi, kehadiran dia di hidup gue baru gue rasain di beberapa bulan yang lalu.

Kita deket. Jadi deket banget lebih tepatnya bisa di bilang gitu. Dia nyoba buat jadi sandaran gue. Awalnya gue ragu, gue terus bertanya-tanya kenapa begitu mendadak banget buat gue dapetin orang ini. Gue sama dia sekarang temenan mungkin terlalu cepat buat gue manggil dia sebagai sahabat gue karena gue sama sekali belum ngelakuin sesuatu hal yang sepatutnya di lakuin oleh seorang sahabat.

Dia orang yang jadi alasan gue kesel, tapi dia juga yang jadi alasan gue buat selalu berpikir dewasa, yang ngebuat gue mandang masalah bukan hanya dari satu sisi, yang ngebuat gue sadar kalo gue cuma makhluk bodoh makhluk yang sangat biasa untun melakukan satu hal yang gue yakini gue bisa. Dia ngajarin gue kalo masih banyak di luar sana orang yang lebih dari apa yang gue alamin. Dia ngajarin gue bersikap; apa yang orang sukai dan apa yang orang benci. Bahkan orang lain bertanya-tanya apa yang sebenernya terjadi sama gue, kenapa gue bisa nunjukin satu perubahan kecil. Karena mereka yang kaget sama hal itu adalah mereka yang sama sekali belum pernah nyoba buat ngerubah gue. Gue tau, gue punya beberapa orang hebat, tapi semuanya belum pernah nampar gue sekeras tamparannya dia. Dia yang bikin gue lebih memaknai hidup, dia yang bikin gue gak peduli apa-kata-orang tentang gue di luar sana yang sama sekali belum pernah kontak mata ataupun kontak suara sama gue, dia yang bikin gue lebih dekat dengan sang maha segalanya. Dia yang nyadarin gue betapa sebentarnya hidup ini. Dia yang ngajarin gue masih banyak sisi positif yang harus gue syukuri dan dia yang selalu nyadarin gue bahwa gue cuma sekadar makhluk tolol yang selalu berpikiran jauh yang bahkan hal itu yang bikin gue down. Dia bukan orang yang selalu di samping gue tapi dia yang selalu "ngeliat" gue, dia yang selalu "tau" apa yang gue alamin, dia yang "ngebiarin" gue untuk bertindak sendiri, tapi dia yang selalu "terlihat" ketika gue memang sangat membutuhkan sosok itu.

Buat lo yang sadar sama kalimat gue ini. Buat lo yang patut banget ngerasain bahwa semua objek ini adalah lo.. Gue cuma mau minta maaf. Maafin gue yang sampai sekarang belum bisa berbuat banyak sebanyak yang lo lakuin buat gue. Maafin gue yang cuma bisa jadi pendengar. Maafin gue yang pemarah ketika lo gak pernah mau dengerin gue. Maafin gue yang selalu nyebelin lo. Maafin gue yang pernah mikir negatif tentang apa yang lo lakuin. Maafin gue yang selalu keras kepala yang terkadang susah nurutin apa yang lo nasehatin.

Yang gue tau, gue beruntung pernah kenal sama lo sampai sekarang. Yang gue tau, gue bersyukur karena gue di temuin sama lo yang sudah sangat berhasil bikin gue berpikir keras untuk ngelakuin banyak perubahan. Yang gue tau, lo selalu ngelakuin yang terbaik buat gue.

Makasih. Makasih banyak atas semua yang udah lo lakuin buat gue. Terutama Allah, beribu terimakasih buat Mu ya Allah ya Robb.

Semoga tulisan ini di mengerti.
Semoga gue sama lo bakalan tetep jadi apa yang kita bentuk sekarang.
Semoga gue sama lo emang di takdirkan buat jadi apa yang disebut 'sahabat'.
Semoga lo emang di takdirin buat jadi salah satu sahabat gue.
Semoga lo emang tulus ngelakuin semua ini.
Dan semoga lo nggak akan pernah lelah, letih, dan bosan untuk menjadi sesuatu yang berarti di hidup gue.

Sunday, August 3, 2014

Realita Persahabatan

Gue pernah baca di salah satu novel terbitan favorite gue, disana ditulis kalo yang namanya sahabat itu ada di saat apapun yang terjadi di dunia sahabatnya, sahabat itu selalu setia melebihi lelaki yang teramat sangat kita cintai, sahabat itu bisa di bilang segalanya, yang selalu peduli, yang selalu merhatiin gimana sahabatnya..

Tapi malam ini terlintas dipikiran gue, tulisan itu emang cuma sekadar tulisan. Gak nyata. Gak realita. Karena mayoritas yang kejadian malah misalnya, si A menganggap si B itu adalah sahabatnya, ngelakuin semua yang terbaik buat si B, peduli, selalu ada saat si B susah, selalu ada kapanpun dan dimanapun buat si B, tapi ada kalanya si A sadar, kalo setiap apa yang dilakuin si B untuk si A itu semata-mata cuma sekadar ngebales jasanya si A. Realita banget kan? Emang. Si A nganggap si B sahabat, tapi si B nganggap si A cuma sekadar teman yang baik. Teman yang baik lho..bukan teman terbaik..

Ada lagi, si C emang sahabatan sama si D. Si D juga nganggap si C sahabatnya. Mereka sahabatan bener-bener kayak sahabat sejati. Sedih susah seneng bareng. Bodoh bareng. Pinter bareng. Ngelakuin kesalahan pun bareng. Semua yang di lakuin bareng. Cerita? Gak perlu ada tanda tanya mereka saling cerita. Tanpa ada kata maaf, mereka saling maafin. Berantem udah jadi makanan sehari-hari mereka, cuma gak pernah ada satu alasan dan satu hal pun yang ngebuat mereka jauh, mereka jenuh sahabatan, ataupun ngebuat mereka musuhan. Gak ada. Dan mereka yakini gak bakalan ada masa itu. Masalahnya dimana? Masalahnya disini, ketika mereka yakin gak ada masa itu, masa dimana mereka jauh, masa dimana mereka saling tidak mengenal. Itu letak masalah yang paling fatal untuk persahabatan mereka. Masa itu datang lewat hadirnya si E. Si E ini adalah Lelaki yang sudah resmi jadi pacarnya si D. Banyak persahabatan yang runtuh karna adanya relationship dari salah satu anggota persahabatan. Bukan. Bukan salah si E. Tapi justru si C sangat berterimakasih dengan si E, karena berkat datangnya si E, si C mulai sadar gimana bentuk si D. Si D yang mulai ngelupain, si D yang sudah keliatan gak butuh si C sebagai sahabatnya lagi, si D yang udah bener-bener seperti gak terlihat oleh si C. Sakit? Bisa dibilang gitu..

Bahkan ada satu contoh realita kehidupan persahabatan, misalnya gini, si A B C D sahabatan, bisa dihitung persahabatan mereka udah lama banget, gak ada cerita yang di tutupin, bahkan masalah keluarga sekalipun, mereka saling tau, apalagi masalah lelaki.. Ada satu kejadian, si A cinta mati sama si E, dan cerita itu udah jadi makanan tiap mereka kumpul. Gak pernah sekalipun si A gak nyeritain gimana dia malu, gimana dia seneng, gimana dia bahagia kalo ngeliat muka-nya si E. Si A mati-matian ngedeketin si E ampe akhirnya si D nawarin diri buat jadi penengah, alias makcomblang di antara si A dan si E. Singkat cerita, berbulan-bulan si A ngedeketin si E, berbulan-bulan itu juga hasilnya tetep nihil..mereka sama sekali belum jadian tapi si A makin penasaran dan makin cinta. Puncak masalahnya adalah si D terlibat cinta lokasi sama si E. Dan begitupun si E. Si E jadian sama si D. Gimana si A? Gimana si B dan C? Hancur. Persahabatan mereka udah gak sehat. Udah gak seharmonis dulu. Masih sahabatan? Tentu masih. Cuma ada beberapa hal yang sudah menjadi kebiasaan tapi berubah menjadi hal yang gak bakalan lagi terjadi.

Itukah sahabat? Itukah yang dibilang sahabat setia? Sahabat selalu ada? Semuanya tergantung kita yang ngejalanin. Jangan terlalu cepat menganggap. Jangan terlalu ngegunain perasaan dan hati kalo udah terjun di dunia sosial. Di dunia pertemanan. Perbanyak doa biar semua Allah yang nunjukin asal kita berusaha buat mencari yang sebenarnya..

I just wanna say thanks for my beloved friend; monica dan muhammad nasir; manusia memang tidak ada yang sempurna dan tidak luput dari kesalahan. Mereka, 2 manusia di antara beribu manusia itu. Mereka pernah ngelakuin salah, salah besar malah tapi mereka gak pernah mau "mengganti" posisi sahabatnya. Mereka pernah terjebak relationship, tapi mereka tetap nunjukin ke gue kalo kita adalah manusia sosial yang saling butuh. Gue pernah ngerasain benci yang gak sepatutnya gue rasain buat mereka. Benci karena mereka ngelakuin salah besar itu, tapi mereka justru yang ngasih jalan keluar; jujur. Jujur adalah jalan keluar untuk masalah. Ngeluarin apa yang di rasain. Semuanya lega. Semuanya berakhir. Dan kami, kami bersahabat tanpa rahasia sekecil apapun. Itulah persahabatan.
Persahabatan yang benar-benar "persahabatan" adalah yang dilakukan tanpa rahasia.

Sunday, May 25, 2014

HILANG


   "STOP!!"
  Satu kata mengawali pagi itu, Difta membuka pintu dan keluar dari kamarnya dengan air mata yang mengalir deras.

  "Kalian bisa sehari gak ribut? Kalian bisa setidaknya menghargai kami? Kami ini siapa? Kami ini anak kalian, ma, pa! Please, Arin masih terlalu kecil buat tertekan karena keributan kalian yang seminggu ini gak pernah stop! Difta capek, difta capek ma, pa!" semuanya tumpah, kejujuran yang selama ini tertahankan. 

  Difta Rishab; anak pertama dari dua bersaudara, hidup di tengah keluarga yang penuh humor, keluarga yang selalu tersenyum, tetapi semua itu keadaan dulu, sebelum semuanya berubah. Ya. Sekarang hidupnya hancur, tidak tahu apa yang membuat semuanya terjadi begitu saja, keluarga yang dulu terlihat begitu membahagiakan, keluarga yang dulu menjadi alasan dia hidup, sekarang menjadi alasan dia untuk mengakhiri hidupnya.
  Difta yang begitu cantik, memiliki paras wajah yang manis, hidung mancung dengan rambut terbelai begitu panjang; indah, Difta yang selalu memberikan senyumnya yang menyejukkan, kini berubah 180 derajat, perbedaan itu terlihat jelas, sejak semuanya berubah menjadi begitu menyakitkan untuknya. Difta tidak bermaksud berujar kasar kepada kedua orangtuanya. Hanya saja, keadaan yang begitu melelahkan, keadaan yang mendorong difta untuk melontarkan semua yang ditahannya selama semingggu terakhir ini.
  Setelah semuanya tertuang dalam kalimat, difta pergi dari rumah hanya untuk mencari sumber ketenangan, dimana lagi dia harus menangis kencang, kalau bukan menuju ke tempat Tari berada. 
  "Tar, lo dimana?" dengan tenang, difta menghubungi Tari. Tari yang memiliki paras tak kalah manis dengan Difta, hanya mengerutkan kening di ujung telepon, mengerti nada apa yang tersirat dari satu pertanyaan itu.
  "Gue dirumah, lo kenapa? Lo mau gue jemput atau bisa sendiri kesini?"
  "Kok lo tau? Hahaha gue bisa sendiri""Ta, please banget, didepan gue jangan munafik, didepan gue jangan sok tegar, gue tau lo, gue ngerti, dan I will always with you, lo hati-hati dijalan" Tanpa satu kata penutup, Difta menutup telepon terlebih dulu, tidak mau mendengar kalimat manis itu lebih panjang karena hanya akan membuang waktu dan air mata. Tari sahabatnya sejak perkuliahan dimulai, dan sekarang yang dia tahu bahwa dia hanya memiliki Tari, orang yang dia yakini tidak akan pergi bagaimanapun keadaan yang akan terjadi. 
  Difta membuka pintu rumah dan menghempaskannya begitu saja, tidak peduli kalimat apa yang baru saja dia dengar dari mulut orang tuanya. ...
  “Assalamualaikum” sapa Difta ketika memasuki rumah Tari yang terlihat sepi.
 “Waalaikumsalam, eh Difta, ayo masuk, nak” ibu Tari keluar kamar dengan sapaan yang hangat, mengingatkan Difta akan keadaannya sekarang, jauh dari kehangatan dan keharmonisan keluarga.
  “Ta, langsung ke kamar gue aja” teriakan itu tidak asing lagi bagi Difta, dan langsung saja dia menjulurkan tangannya, memberi salam dengan sopan dan sedikit berbasa-basi menanyakan kabar kepada perempuan yang berumur sekitar 45 tahun didepannya. 
  “Tan, Difta langsung kekamar Tari ya?” tanya Difta dengan ramah sambil menyibakkan helaian rambutnya yang panjang. “Iya, Tari sudah nunggu kamu daritadi” balas perempuan cantik itu dengan tak kalah ramahnya.
  Difta menaiki tangga yang terletak di sudut ruang tamu, sambil sesekali menyapu pandangan dan berdecak kagum dengan interior rumah Tari yang begitu rapi dan sangat enak dilihatnya. Wajar saja, ibu Tari adalah seorang arsitek ternama di kota mereka, dan ayahnya adalah salah satu pelukis hebat di Indonesia. Tari benar-benar beruntung, pikir Difta sambil terus menaiki satu per satu anak tangga.

  Sejenak Difta melupakan kejadian pagi itu, dengan senyum cerianya, Difta mengetuk pintu dan menyelonong masuk seperti saat dia masuk kamarnya sendiri. Begitulah mereka, begitulah persahabatan mereka, seperti saudara kandung yang tidak akan terpisahkan.
  "Hallo dear!"
  "Sok kuat banget sih! Kenapa?"
  "Nggak ada apa-apa kok, gue kangen sama lo aja makanya gue kesini"
  Difta seperti anak yang paling bahagia. Bahagia memiliki sahabat seperti Tari yang selalu ada disampingnya. Tetapi, senyum itu pudar seketika.
  "Ta, gue mesti ke luar nih, si Aldo minta temenin gue"
Difta terdiam.
  "Ta?" tegur Tari lagi.
  "Oh, iya-iya kalo gitu gue balik dulu ya. Thanks for your time"

  Difta keluar kamar Tari tanpa mengekspresikan apa yang tersirat dalam satu kalimat itu. Difta menuruni tangga dengan lesu. Berbeda terbalik dengan saat dia menaiki tangga 10 menit yang lalu. 

  "Loh? Mau pulang, ta? Cepet banget. Tante baru mau nyiapin makanan buat kamu"
  "Nggak usah repot-repot tante, Difta ada kerjaan mendadak, Difta pulang dulu ya, tan. Assalamualaikum"
  "Waalaikumsalam." Ibu Tari menjawab salam dengan raut muka yang bingung.
......
  Difta pulang kerumah dengan mata yang membengkak. Selama perjalanan pulang, Difta hanya menangis. Tanpa tahu kemana dia harus menuangkan segala cerita yang disimpannya. Kerumah Tari ternyata adalah pilihan yang salah. Tari; sahabatnya telah berada di ruang yang berbeda. Jauh. Hanya kata itu yang dapat di gambarkan Difta ketika benaknya menyebutkan nama itu. Difta tidak mengerti takdir Tuhan yang begitu menyakitkan.
  "Mama mana?" Tanya Difta kepada papanya ketika dia memasuki rumah yang terasa sangat panas siang itu.
  "Pergi. Adik sama mama mu milih pergi dari rumah"
  "Terus? Papa biarin?" Tangis itu pecah lagi. Hancur. Satu kata itu yang kini dirasakan Difta.
  "Mau gimana lagi?" Jawab papanya enteng.

  Difta berjalan menuju kamarnya. Memegang gagang pintu, membukanya, masuk, dan menutupnya kembali dengan amarah yang sedari tadi di timbunnya. Difta menghempaskan seluruh tubuhnya ke tempat tidur yang kini menjadi tempat sandarannya. Perempuan cantik itu tidak memiliki apa yang dia butuhkan saat ini. Mama, Tari, dan semua kebahagiaannya kini pergi tanpa ingin di kejarnya. Difta hanya berpikir, jika ini memang takdir Tuhan, dan jika perpisahan adalah jalan terbaik, dia memilih untuk menghilang selamanya.

  Berselang 2 jam berikutnya, Tari memarkirkan mobil mewahnya di halaman rumah Difta. Dengan air mata yang tidak tertahan, Tari masuk ke rumah berinterior sederhana itu dan mendapati keramaian orang berbaju hitam.
  "Difta!!" Jerit histeris dengan air mata yang tidak mampu untuk ditampungnya mengalir deras. Tari menjatuhkan tubuhnya tepat dimana Difta terbaring dengan kain yang menutupi semua tubuhnya.
  "Tari, tante nemuin surat buat kamu di kamar Difta, belum tante buka"

  Tari hanya menjulurkan tangan kanannya untuk mengambil surat itu, dan kembali menangis ketika tangan kirinya menyibakkan kain yang menutupi bagian kepala Difta.
  Tari hanya bisa menangis ketika dia membayangkan bahwa Difta pergi meninggalkannya bukan untuk beberapa hari melainkan untuk selamanya.
......
"Hallo dear! Maaf banget buat kebodohan terbesar ini. Aku capek. Aku gak kuat. Aku gak tahu harus gimana. Bukan salah kamu, bukan salah kamu yang ninggalin aku tadi pagi, jangan nyalahin diri sendiri ya! Ini salah aku kenapa aku nggak bisa lebih kuat, salah aku kenapa aku nggak jujur sama kamu pas kamu nanya ada apa. Udah, sekarang nggak perlu ngomongin siapa yang salah, dari surat ini aku cuma mau bilang makasih banyak buat selama ini, kamu satu-satunya yang terbaik, kamu harus inget; orang yang keliatannya gak butuh, justru itu yang paling butuh. Jangan ditangisin terus, ya! Ohya, happy birthday buat kamu besok, ya. Maaf aku udah nggak bisa selalu ada di samping kamu, semoga kamu tetap menjadi yang terbaik" 

PAPA

Begitu sulit mencari sumber kebahagiaan.

   Begitulah yang ada dibenakku pagi ini. Matahari tidak kunjung datang dalam tiga hari belakangan. Suara yang selalu aku rindukan menjadi hantu yang terus mengusik setiap bangun pagiku dan setiap malam tidurku.

Jalanan seperti kehidupanku. Lurus namun sepi.

   Aku melihat lelaki tua terduduk lemah disudut jalan kota yang begitu banyak membuatku mengenal arti kehidupan yang begitu sulit untuk aku jalani sendiri. Aku berhenti berjalan. Mobil dan motor mulai meramaikan pagi ini. Dan akhirnya, matahari terlihat lagi. Aku terus memandangnya, dan semua terasa sesak. Aku kembali teringat akan sosok lelaki tua yang kini terbaring lemah tak berdaya di sebuah ruangan yang teramat sepi baginya. Tanpa sadar, air mataku jatuh perlahan. Aku menyeka dengan jari-jari yang melekat pada tangan kananku. 
   Aku kembali berjalan namun mataku tidak lepas dari sosok yang semakin dekat. Aku menghampirinya dan duduk berjongkok dihadapannya, mengeluarkan sebungkus roti yang aku bawa untuk bekal sarapanku selama diperjalanan yang akan memakan waktu dua jam untuk sampai di kampus ku.
  “Terimakasih, nak.” Suara berat itu kembali mengingatkan aku dengan suara yang kini semakin aku rindukan. Parasnya yang begitu rapuh, kesepian yang menguap dalam matanya. Teduh. Seperti orang yang sangat aku butuhkan saat ini.
   Senyumku menjawab semuanya. Aku kembali berdiri dan kembali menatap apa yang harus aku jalani.
…..
   Sepulang kuliah aku tidak pernah langsung melangkahkan kaki ke rumahku sendiri. Seperti hari ini, aku sengaja pulang lebih awal dari kampusku hanya untuk pergi menemui orang yang sangat berarti dalam hidupku.
   Kini aku berdiri didepan pintu rumahnya. Menunggunya berjalan tertatih untuk membukakan pintu untukku. 
   “Hallo, anakku” Sapaan yang selalu khas di telingaku.
   Aku menopang langkahnya. Sama seperti saat aku terduduk lesu menangis di sudut kamarku, beberapa tahun yang lalu, dan dia datang untuk menopangku menuju kamarnya, memberikan semua alasan mengapa dia sangat menyayangiku seperti dia menyayangi anak kandungnya sendiri, seperti dia menyayangi separuh jiwanya.  Kaki yang dulu kuat menggendongku, kini menjadi rapuh tak berdaya.
   “Sudah makan? Mau papa suapin?” Tanpa menjawab pertanyaannya, aku duduk di lantai menghadapnya, dia berdiri dengan sekuat tenaga, menggenggam erat pinggiran sofa, lalu bangkit dengan satu hembusan nafas. Aku hanya bisa melihatnya dari sudut mataku, menyembunyikan tetesan air mata, melihat semua kelemahan yang kini semakin terlihat jelas, semua telah berubah, pikirku.

   Seusai makan, aku bergegas membereskan semua piring kotor yang berserakan diatas meja sebelum dia yang melakukannya dengan susah payah. Aku sangat tahu bahwa semua hal kecil yang aku lakukan seperti ini tidak akan mampu membalas semua cinta kasih yang dia beri selama 19 tahun ini. Ya. Dari kecil, bahkan dari aku berumur 1 hari, aku memanggilnya papa, aku telah menjadi peri kecilnya, peri kecil yang selalu menjadi pusat perhatiannya, yang selalu manja, yang selalu menangis dalam pelukannya, yang selalu menghabiskan coklat yang ada di kantung baju dalam lemarinya. Papa begitu menyayangiku hingga aku lupa akan kasih sayang kedua orang tuaku dirumah. Papa begitu mencintaiku hingga aku lupa akan cinta dari keluarga besarku.
   “Sudah beres?” Pertanyaan itu mampu membuyarkan semua lamunanku. Tanpa sadar, aku sudah kembali duduk disampingnya, kali ini berdampingan dengannya.
   “Nak,” panggilan yang begitu menyejukkan. Aku terhenyak ketika aku harus menoleh ke arahnya, harus melihat dengan dekat paras wajahnya yang semakin tua, yang semakin terlihat sepi, yang semakin terlihat rapuh. Oh Tuhan, sanggupkah aku untuk hidup di dua tempat dengannya?

   Dia membenarkan posisi duduknya, lebih mendekat. Sentuhan hangat menjalar di kepalaku. Dia mengusap rambutku sama persis ketika sewaktu kecil aku menceritakan hal yang membuat aku menangis, lalu dengan lembut dia membelaiku.
   “Kamu mau papa nangis?”
   “Nggak”
   “Kalau begitu, berhentilah menangis, lihat di lemari itu, ada sesuatu untuk kamu”

   Aku yang saat itu berumur kurang lebih 6 tahun berlari kecil sambil mengusap air mataku, membuka lebar pintu lemari pakaiannya, dan merogoh kantung kemeja yang biasa memberikan nilai tambah untuk ketampanannya.
   “Coklat!!” aku begitu bahagia saat itu. Menjerit histeris tanpa peduli dengan sisa air mataku.
   “Bilang apa?” satu pertanyaan yang dengan cepat aku jawab “Thank you.”

   Aku berada dipelukannya lama. Lama sekali. Sampai aku lupa tentang coklat yang ada di genggamanku saat itu.
   
   Sentuhan hangat itu membuatku terhanyut akan kenangan dulu. Suara penuh harap yang dia lontarkan dari ujung lidahnya kembali mampu membuatku tersentak dan tersadar dari lamunanku.
   “Kamu harus janji satu hal sama papa.”
   “Apa, pa?” Kali ini tangan kanannya yang dulu hampir setiap hari mengaduk susu buatannya special untuk peri kecilnya ini menggenggam erat tanganku.
   “Kamu tidak boleh dan jangan sampai mengeluarkan air mata yang terlalu banyak untuk suatu saat nanti. Kamu harus ingat, semua yang telah Tuhan gariskan kepada kita, itu adalah yang terbaik, dan kamu harus selalu ingat papa akan lebih bahagia jika melihat kamu tersenyum. Kamu mengerti maksud papa?”

   Aku terdiam. Merasakan panas di ujung kelopak mataku. Sekujur tubuhku lemas seketika, rasa kuat yang selama ini selalu menjadi penutup kelemahanku bergejolak hebat, ingin rasanya aku menjerit bahwa aku tidak akan pernah bisa sanggup tanpanya, ingin rasanya aku memeluk tubuh yang dulu begitu erat memelukku, ingin rasanya aku berteriak tepat ditelinganya bahwa aku benar-benar tidak akan pernah merasakan kehidupan yang berarti jika aku hidup tanpa dirinya.
   “Iya, pa.”

   Kenangan yang sudah sekian lama aku simpan rapi dalam hatiku menjerit ingin keluar dari jeruji besi pikiranku. Saat semua membuatku menangis, hanya satu yang bisa membuatku bertahan untuk tersenyum.
   “Kenapa kamu nangis?” Tanyanya beberapa tahun silam.
   “Difta gak salah tapi Difta yang di marahin, pa” aku menangis, berjongkok di sudut ruang tamu sore itu.
   “Mau coklat? Ayo kita ke kamar papa.” Dia mengulurkan tangannya, membantuku untuk bangkit berdiri, menggendongku dan membawaku masuk ke kamarnya.
   “Nak,” panggilnya. Aku menoleh ketika aku sudah mendarat bebas di atas tempat tidur yang selalu membuatku merasa nyaman diatasnya.
   “Kamu dengarkan papa, kamu tidak boleh jahat sama orang yang jahat sama kamu, kamu tidak boleh dendam sama orang yang sudah buat kamu menangis, ini coklatnya, dan keluarlah, beri coklat itu untuk orang yang sudah membuat kamu menangis, kalau semua sudah kamu berikan dengan adil, kamu kembali ke kamar papa, kamu akan dapat tiga coklat dari papa.”

   Papa. Dia yang mengajarkan semua kebaikan di dalam kehidupanku. Aku tidak akan pernah bisa dan mampu membayangkan bagaimana aku kelak jika aku tidak lagi memiliki dia yang begitu berperan penting dalam setiap keindahan dalam hidupku. Membayangkan semua yang menjadi hal terburuk sekalipun, air mata ini tidak mampu tertahankan. Bagaimana kehidupanku nanti?

   Satu hal yang membuatku tersadar, bahwa dia adalah salah satu motivasi besar dalam perjalananku, dalam setiap hal yang aku lakukan.

   Perjanjian yang ada mampu membuatku mengerti bahwa aku hidup untuknya, aku hidup atas dasar cinta dan kasih sayangnya, aku hidup dan aku bahagia karena kebahagiannya.


-End-




Friday, May 23, 2014

New


Orang yang selalu menuruti apa maumu
Orang yang selalu berjuang untuk masa depanmu
Orang yang tanpa lelah menyayangimu tanpa kenal siapa kamu sebenarnya
Orang yang rela memperjuangkan hidupnya untukmu
Orang yang selalu mengajarkanmu semua kebaikan yang harus di lakukan di dunia
Orang yang tidak pernah membuatmu menangis sekalipun.

Dia yang berkata "sejahat apapun orang sama kamu, jangan pernah kamu balas untuk menyakitinya"
Dia yang pernah berkata "berjanjilah suatu saat, kamu harus kuat, kamu justru harus bahagia, karena itu adalah sebuah kedamaian untukku dan aku akan bahagia disana"
Dia yang selalu meyakinkan "semua perjuangan ini adalah untuk masa depanmu, semua selesai, maka berakhirlah, dan aku akan benar-benar tenang menghadapnya"
Semua kalimat ini nyata.
Semua kalimat ini adalah kalimat yang tertangkap oleh telinga; dalam beberpa hari yang lalu..

Orang yang selalu menuruti apa maumu
Orang yang selalu berjuang untuk masa depanmu
Orang yang tanpa lelah menyayangimu tanpa kenal siapa kamu sebenarnya
Orang yang rela memperjuangkan hidupnya untukmu
Orang yang selalu mengajarkanmu semua kebaikan yang harus di lakukan di dunia
Orang yang tidak pernah membuatmu menangis sekalipun.

Dia yang berkata "sejahat apapun orang sama kamu, jangan pernah kamu balas untuk menyakitinya"
Dia yang pernah berkata "berjanjilah suatu saat, kamu harus kuat, kamu justru harus bahagia, karena itu adalah sebuah kedamaian untukku dan aku akan bahagia disana"
Dia yang selalu meyakinkan "semua perjuangan ini adalah untuk masa depanmu, semua selesai, maka berakhirlah, dan aku akan benar-benar tenang menghadapnya"
Semua kalimat ini nyata.
Semua kalimat ini adalah kalimat yang tertangkap oleh telinga; dalam beberpa hari yang lalu..

Allah.
Untuk yang kesekian kali nya perempuan ini membuka tangan, memohon dalam tangisnya untukMu.
Allah.
Perempuan ini hanya memohon panjangkan rentan waktunya bersama orang yang kini menjadi alasan kelemahannya. Izinkan perempuan ini mengukir senyuman indah untuknya. Izinkan perempuan ini mendapat ucapan "selamat" dalam hari-hari bahagianya kelak.
Allah.
Jika memang takdirMu berkata lain, perempuan ini hanya meminta satu kekuatan. Kekuatan untuk bertahan lebih dari ini.
Allah.
Aku dan perempuan ini yakin, TakdirMu adalah yang Terbaik.

Ya allah.
Ketakutan ini semakin kuat.
Ketakutan ini semakin nyata.
Ya allah.
Hamba mohon
Hamba mohon kepadamu ya Robb
Apa yang harus hamba lakukan
Apa yang harus hamba berikan
Nyawa? Ambil ya allah. Jika itu bisa menggantikan semuanya. Hamba ikhlas. Hamba hanya ingin dia bahagia ya Allah. Hamba mohon.. Hamba hanya ingin dia melihat hamba dengan toga sebagai hasil dari semua kesibukan hamba selama ini
Hamba ingin memberikan hasil keringat hamba untuknya ya Allah
Izinkan hamba
Izinkan hamba melakukannya
Izinkan hamba memiliki harapan ini
Dan izinkan hamba untuk mewujudkannya ya Robb..


Beberapa makhluk Tuhan

Beberapa makhluk ciptaan Tuhan yang baru masuk ke dalam kehidupan yang fana ini.
Mengetuk pintu. Dipersilahkan untuk masuk dan singgah beberapa saat.
Kenyamanan itu terus terasa nyata. Indah. Bahkan terasa candu.
Kenyamanan yang mereka bawa membuatku seperti terbang ke atas langit yang begitu tinggi melihat semua sisi kehidupan yang lain; yang tidak pernah aku lihat sebelumnya.
Sesaat atau sementara. Dua hal yang terbesit nyata di dalam benak dan pikiran ini. Tetapi semakin hari semakin penuh makna. Semakin hari semakin banyak cerita.
Mengajarkan aku tentang bagaimana menyikapi seluruh sisi kehidupan yang berselimut masalah. Mengajarkan aku tentang bagaimana kerasnya ketidakberdayaan dalam kehidupan. Mengajarkan aku tentang bagaimana harus mencari sesuatu yang lebih berarti. Mengajarkan aku tentang bagaimana memperjuangkan kebahagiaan kecil yang ada di dalam hari. Mengajarkan aku tentang bagaimana lelahnya tertawa lepas tanpa beban dan apapun yang membatasi diri.
Kedatangan yang tidak pernah terencana.
Kedatangan yang sebelumnya tanpa sebuah undangan.
Kedatangan yang benar-benar tidak di sengaja.

Semoga aku dan beberapa makhluk dari Tuhan yang untuk saat ini berada pada level tertinggi dalam hati yang begitu terlihat baik-baik saja untuk selalu terlihat abadi.

Terima kasih atas kunjugan yang kalian sempatkan untuk rumah hati kecilku
Terima kasih atas semua pembelajaran yang kalian ajarkan dengan penuh kesabaran.
Terimakasih atas segala bentuk kasih sayang yang kalian tunjukkan.
Terimakasih atas semua cara yang kalian gunakan untuk membuat hati ini kembali utuh dan membuat bintang bersinar kembali dalam mata dan hatiku.

Saturday, March 29, 2014

Dia dia dia

Hai readers.
Gue gatau apa yang merasuki otak gue sore ini. Yah, as you know, gue-lagi-nyusun-karya-ilmiah-- dan yang ada diotak gue malah cuma dia!!
Cieelah udah gede banget gue mikirin lelaki.
Tau deh, gue juga bingung.
Hujan. Keren. Sekeren apapun hujan sore ini juga masih kerenan dia.
Gue gatau. Dia itu sederhana. Senyumnya khas. Dan pas dia noleh senyum dan nyapa "hai" doang gitu bikin gue senyum 3 hari! Bayangin aja kalo tiap hari dia kayak gitu apajadinya gue?

Tapi, gak tiap hari juga gue senyum sendiri kayak orang gila.
Gue juga lagi banyak-banget-pikiran. Kayak orang tua banget ya gue? Cuma yah gitulah, masalah silih berganti, tapi gue percaya gue gak sendirian karena tiap gue nangis, gue selalu cerita semuanya ke temen deket gue, alhasil, dia tau-banget-semua-tentang-hidup-gue yang terkadang masih ada beberapa helai cerita yang belum pantes buat gue ceritain. But, big thanks banget buat dia. Kapanpun dan apapun yang terjadi, "katanya" sih dia bakalan ada terus. Semoga gak php deh ya.

Balik ke topik awal; lelaki.
Dia itu sederhananya kebangetan deh. Ganteng? Gak terlalu. Keren? Iya keren sih tapi keren dimata gue karna pas gue nanya ke temen gue, temen gue malah bilang "apa bagusnya?" Hmm mungkin matanya dia kurang kebuka sedikit kali ya.
Gue suka sama dia. Suka ya bukan "cinta" kayak anak jaman sekarang yang rela mati demi cinta, rela nyuruh orang ngebunuh demi cinta, ahh apaan dah tuh. Gue suka dan sulit buat nyimpulin gue "cinta". Karna itu belum bener-bener gue jamin.
Gue suka kesederhanaan dia, gue suka "kamu"nya dia, gue suka suaranya pas dia bilang "hei", gue suka pas dia senyum, gue suka parfumenya, gue suka DIA!! Pokoknya semuanya gue suka bahkan gue suka cara dia ngeliatin. Oh Allah, itu makhluk ciptaanMu.
Gue selalu ngucap "astaghfirullah" pas mata gue tepat di matanya dia. Gila banget deh gue. Tapi bodoamat dah, yang penting dia jadi moodbooster gue dan "motivator" gue dan "motivasi" gue kenapa gue kuliah.