Cinta adalah sebuah
anugerah terbesar dan terindah dalam hidup
Cinta yang tulus
hanya ada dalam cinta kasih
sang pencipta
Cinta yang abadi
adalah cinta yang tercipta dari kedua
orang tua
Cinta yang sempurna
adalah cinta dari sebuah persahabatan
Dan cinta yang
takkan mampu tergantikan
adalah cinta darimu..
Duduk santai
di teras kamar
adalah hobi baruku.
Dengan di temani
secangkir cappucino hangat di pagi
hari dan Suara
takbir yang berkumandang,
membuatku terhanyut dan memaksaku
untuk mengingat sosok dirinya yang selalu
menemani waktu kecilku, Nenek. Tanpa
sadar, mataku mengeluarkan satu tetesan
air ketika dalam
benakku mengucapkan nama itu.
“dir, ikut mama
ya?” lamunanku terhenti seketika, dengan gerakan
cepat aku mengusap
air mataku
“bisa ga sih ma ketuk pintu dulu aah. Kemana?” wajah penasaran itu ada
“hari ini kan
hari raya, kamu lupa
atau…”
mama; orang yang membuat
aku mengerti akan makna ketulusan,
menatap aku penuh
curiga
“gamungkin lupa kali
maa, ah ngebetein deh “
Mama menatapku
dengan senyumannya yang
khas; begitu manis
untuk seorang ibu.
“hahahaha digituin doang ngambek,
yaudah mama tunggu
ya!”
“kita kemana ma?”
“ke rumah saudara
mama, disana ada
Bela
sama Ariz sepupu kamu,
kakak kamu juga ikut
kok, papa doang
tuh yang males
ngikut”
“bawel deh ma yang di
tanya apaan yang
di jawab apaan
juga, yaudah Dira
prepare dulu”
dengan langkah malas,
aku berdiri dan
bergegas untuk mempercantik
diri menyambut hari..
Aku, Dira Neirisa,
anak kedua dari
tiga bersaudara, memiliki keluarga yang cukup humoris
penuh dengan kebahagiaan tanpa pernah menciptakan satu kesakitan dan kesedihan dalam hati
dan langkah kehidupan.
. . .
Dalam waktu 30 menit, aku, mama, kakak
dan adik kecilku
sampai
di rumah saudara mama, semakin
besar rasa rinduku
pada semua anggota
keluarga semakin besar semangatku untuk berkumpul
bersama mereka..
“hey dir, wih makin
dewasa makin cantik
ya”
“makasih tan, tante
juga makin kece
aja nih”
“ah kamu, masih bisa
aja ya gombalin tante”
Tanteku, mamanya Bela, aku
begitu akrab dengannya,
akrab dengan selera
humor yang sama.
“gimana kuliahnya sayang?”
belaian tangannya yang
hangat kembali aku
rasakan di ujung-ujung
kepalaku
“lancar aja tan
nikmatin aja kali,
eh tan, Bela
mana?
“tuh Bela lagi
sama temennya, ada Ariz juga, samperin
tuh di ruang
tamu”
“okee! Dira kesana dulu ya”
…
Seribu rindu, seribu
langkah
pula yang aku langkahkan
untuk menuju ke
arah
mereka
“heeey”
“Diraaaa!!!!!!” pelukan hangat itu aku
rasakan kembali, setelah beberapa tahun lamanya, ternyata rindu itu ada, hadir
dalam hatinya
“kangen banget gue
sm lo!” wajah itu.. begitu
aku kenali.. senyum dan binar
rindu dari matanya
sangat akrab menyambutku..
“gue apalagi, eh gimana
kabar?”
“see? Gue baik, lo? Ciee siapa
tuuh?” pandanganku beralih pada satu sosok
asing yang tidak
pernah aku temui
sebelumnya. Lumayan. Pikiran ini mulai
menilai dari ujung kakinya hingga ujung rambutnya.
Senyumnya begitu khas, tawanya renyah se renyah biskuit yang selalu menemaniku bersama cappucino hangat dipagi hari,
rambutnya hitam pekat
sehitam awan dimalam
hari, kulitnya coklat; manis.
“oh dia temen gue”
Lamunan itu pecah,
berserakan.
“hey dir, lo
disini?” suara yang
khas, Ariz. Orang
yang selalu siap jadi
tempat curhatan,
ngeluh, dan apapun itu
yang berurusan dengah Hati.
“Arizzz!!! Sms gue
ga lo bales
jahat ya lo!”
“sms mana? Gue ganti nomor weey”
secepat kilat Ariz
mengeluarkan smartphone nya
“nih nomor gue”
“kebiasaan banget sih
lo! Bete guee”
“daripada bete, kita
jalan-jalan aja, mau? Nih
temen gue bawa
motor jadi kita bisa
berempat, gue sama
Bela, lo sama
dia, Ilan”
Ilan. Namanya ilan; orang
yang memiliki senyuman yang khas
dari bibirnya; orang yang memiliki
tawa yang renyah; orang yang memiliki
wajah yang tidak
akan pernah aku
lupakan. Apa yang
ada di pikiran
ini sejalan dengan apa
yang aku rasakan.
Mungkinkah? Entahlah, aku belum bisa
memastikan, dan mungkin ini hanya perasaan sesaat; sementara.
“huoi! Mau ga?
Kok ngelamun?
Lamunan itu kembali
mengusikku, dan kembali
pecah, berantakan tanpa ada
yang membenahi, seperti
hati ini, pecah dan sulit
kembali..
“kok gue sama dia?”
aku menunggu jawaban atas rasa
penasaranku.
“ntar gue jelasin
deh! Lan, lo
mau kan?”
Pandanganku kembali menatapnya, senyumannya, ah, membuatku lupa siapa
aku dan dimana aku berdiri.
“iya gue mau” mata
yang begitu indah
dan senyumnya yang
begitu manis kembali
menatapku .
Hati ini bersorak
hebat, senang? bahagia?
sederhana.
…
Cinta datang terlalu
cepat
Tanpa mengenal siapa aku
Tanpa rasa memahami siapa dia
Tanpa memandang siapa kita
Hingga cinta itu hadir
Dan berubah menjadi luka
“lo suka ga
kalo kita ngebut?”
“hahaha pertanyaan lo!”
“yaudah gue angkat ban
aja gimana? Pasti lo takut?
Hahaha”
“usil banget ya lo”
Nekat. Ban yang
di angkat dengan
begitu mudah membuat aku tanpa sengaja memegang pundaknya. Takut. Hanya
itu yang ada dalam pikiranku
dan hanya itu yang
aku rasakan.
“ya Allah maaf banget,
lo beneran takut? Maaf
ya maaf”
kekhawatirannya yang begitu
tulus
“iya gpp kok,
nyantai aja”
Kami menepi, berhenti di tengah
taman kota yang begitu
indah.
“hey kok stop?
kenapa, Dir?” Ariz dan Bela ternyata ikut berhenti dan menyadari ada sesuatu yang aneh
dari kami; aku
dan dia, Ilan.
“gpp kok
cuma mau liat-liat
taman disini aja, asik yah”
“iyalaah asik! eh
Dir, lo barter
ama Bela ya? Biarin
mereka berdua, lo sama
gue, gimana?”
Ariz terlihat begitu
bersemangat
Kecewa. Entahlah. Perasaan itu kembali mengusik hati dan pikiranku
“yaudah oke aja
nih gue”
Senyuman yang terbentuk dari bibirku adalah senyuman hambar tanpa rasa. Tidakkah mereka menyadari raut wajah yang begitu kecewa?
Ataukah Ariz yang begitu mengerti, tahu perasaan
ini dan takut
aku terlalu dalam merasakan
semuanya?
“dir”
Tanpa sadar, kami;
aku dan Ariz
berada pada posisi
yang jauh dari
mereka; Ilan dan Bela.
“iya, Riz?”
“lo tau
Ilan itu siapa?”
“temen lo kan?”
“dia pacarnya Bela”
Diam. Perih. Kecewa. Bergantian memaksa masuk dalam hatiku. Memaksa aku untuk terhanyut dalam buaian rasa sakit.
“oooh”
“iya mereka udah lama pacaran
tapi nyokap nya
Bela ga setuju”
“gue jadi ga
enak sama Bela,
pantesan mukanya bete gitu”
kekecewaan itu hadir
melalui sorotan mataku
yang kian berbinar;
sesak.
“biasa aja
kali”
“iya juga
sih, eh balik
dong, panas nih gerah gue”
Alasan yang logis
. Panas. Terik matahari memihak kepada hati yang teriris kecil.
“yaudah kita balik”
Laju motor yang
begitu kencang tidak membuat aku tersadar
dari semua gejolak dalam pikiranku.
Handphone, sms, dan
mereka adalah yang
aku butuhkan saat aku mulai
bergelut dengan rasa
perih di dalam
hati .
Lita, Monica, Miko, Tara;
mereka sahabatku, makhluk Tuhan yang
dikirimkan untuk menjagaku, untuk menjadi
tempat bersandar melepas lelah, berkeluh kesah, menangis,
bahkan tempatku bersemangat bercerita tentang satu kebahagiaan.
“gue mau cerita ke lo semua!!” satu sms untuk 4 makhluk yang aku
anggap sebagai anugerah terindah
dari Tuhan. Sms terkirim. Dan aku
terus menunggu satu balasan
dari mereka, siapapun itu, aku
membutuhkannya.
“dir udah nyampe nih,
lo kok diem aja?”
tepukan di bahuku
menyadarkanku dari berjuta
pikiran yang mengganggu
kerja otakku/
“eh iya yah? Sorry
, gue sibuk sms
temen-temen gue”
Diamku adalah cara
untuk melepas semua rasa
perih, dan Ariz
selalu tahu cara
itu.
Getaran handphone membuat aku kembali
bergelut dengan duniaku;
mereka. Bbm, ternyata Lita yang memenangkan
untuk menjadi wartawan sehari.
“wooi gue
ga ada pulsa! Lo kenapa?”
Lita, makhluk menyebalkan sekaligus yang begitu
patut untuk dirindukan.
Jariku mulai menari,
mengekspresikan semua yang
aku rasakan, tanpa ada
yang aku tutup-tutupi.
Lita, dengan sikap
yang terlihat begitu dewasa
terus mencari cara untuk bagaimana aku tidak
terlalu larut dalam
buaian rasa itu.
“thanks dear, lo emang
yang terbaik! Makasih udah sempet-sempetin
bacain semua cerita
gue hari ini”
“yailaah itulah gunanya
gue dikirim Allah buat
lo!”
“eh kalo anak-anak
pada nanya, gue
minta tolong lo
aja yang cerita,
gue takut rasa
itu ada lagi”
Ya. Rasa itu memang ada,
tanpa izin dan
tanpa permisi, hadir sebagai teman hidup, mungkin.
“beres!
yaudah gih sana ga
enak sama sepupu
lo yang daritadi
lo kacangin!”
Lita, memang yang
begitu mengerti.
“ciee sibuk banget
kayanya”
Suara itu, membuat
jantung ini terus
memacu memompa darah dengan
begitu cepat. Suara itu,
yang akan terus aku rindukan. Suara itu,
begitu khas. Lembut, jernih, dan penuh peduli.
“eh lo, Lan, Bela mana?”
Pandanganku beralih pada
“gatau tuh, eh
gue balik ya! See
you, dir”
dia melambaikan tangannya, lambaian
tangan pertama dan
mungkin akan menjadi
yang terakhir.
See you? Bukankah
kata itu adalah
bentuk janji tersirat
untuk pertemuan selanjutnya? Ah, harapan itu..
Diam. Aku kembali
dalam diamku..
…
Satu bulan setelah
pertemuan itu..
Satu bulan berakhir
dengan cepat..
“Dir, mama baru
buka cafe” mama;
sosok perempuan yang selalu
mengagetkan aku ketika
aku bergelut dengan lamunan
penuh senyuman
“dimana? kok baru
cerita sih ma?”
“kan surprise buat kamu hahahaha..
di pertigaan jalan raya”
mama; sosok perempuan penuh kejutan
“ohh disana, oke ntar
kalo dira ada
waktu, dira nyusul,
mungkin malem aja
gapapa kan ya?”
“oke sip deh
ntar di sana
ada Ariz, dia
bantuin jaga cafenya,
ada tante Eka
juga”
“horeeeee” kekanak-kanakan ku hadir
dalam waktu yang
sangat singkat
Aku begitu bersemangat
karena akan bertemu
lagi dengan Ariz;
sepupuku yang selalu
menjadi tempat pembuangan
keluh..
…
“maa, Dira pergi dulu ya”
“hati-hati ya sayang”
“oke maa! kak,
gue cabut dulu
ya bilangin papa” kakakku;
Jessica Cindy; makhluk
yang selalu aku anggap
sebagai makhluk
menyebalkan selalu bergelut dengan tugas-tugas
kuliah yang entah
kapan akan berada
pada puncak penyelesaian..
“iyaa. Lo pulang
ama siapa ntar?”
“di anter Ariz laah
kak, masa iya gue
pulang sendiri malem-malem gila lo!”
“sewot banget
lo! biasa aja kalii”
“udah ah gue pergi yaa,
assalamualaikum, cantik”
“idiih, yaudah, waalaikumsalam, jelek”
Seperti layaknya Bintang dan Malam; begitulah
aku memposisikan diriku dengan kakak
satu-satunya yang ada
dalam hidupku..
…
Waktu sudah menunjukkan
pukul 17:00 aku
duduk cantik di dalam
sebuah café sederhana
yang dinamakan “DJ Café” dengan di
temani secangkir Orange Jus
dan alunan Instrument
piano membuat aku semakin betah berlama-lama
duduk sendiri menatap indahnya senja tanpa seorang pun yang
menemani..
“Ariz belum juga
muncul, Dir?”
Lamunan indah itu
kembali hancur berantakan
dengan satu teguran
dari tante yang
begitu aku kenali;
tante Eka.
“belum tan, mungkin di jalan”
“dia sama temennya”
“hah? Siapa?”
“tante belum tahu,
katanya temennya juga mau kerja
sama kita buat bantuin
tante ngurusin dan ngejagain
café ini”
Teman? Ariz? Teman Ariz?
Mungkinkah..?
“eh, itu Ariz
tuh”
Diam. Kembali berpikir tanpa melihat
apa yang tengah
terjadi.
“Dir!”
“eh, lo udah
muncul, daritadi gue tungguin”
“gue jemput si
Ilan nih”
Ilan? Oh my God.. dia
mungkin ditakdirkan untuk hadir kembali dalam hidup
ini.
“lo masih inget gue?”
Kamu; Ilan, tanpa
aku sadari, kamu terlalu
dalam memasuki batas pemikiran
dalam kepala ini dan
tanpa aku ketahui
kamu telah berhasil
memaksa masuk hingga
dalam hatiku.
“masihlah, masa iya
gue lupa sama
yang hampir bikin gue jantungan
di motor hahahha”
“ciee inget aja
nih” canda yang
dia lontarkan.. gerakan tangan yang
dia mainkan di atas
kepalaku, mengacak rambutku, hingga rasa
itu kembali ada..
“dir, masuk aja
sini” Ariz yang sedaritadi
hanya terpaku dari dalam jendela
dapur, kembali bersuara.
“ngapain sih Riz?”
hanya satu pertanyaan itu yang mampu
aku lontarkan.
“gausah kesana! Lo disini
aja ya? wajib!
Harus duduk di
sebelah gue!”
Pernyataan sekaligus paksaan yang dia
tuju ke arahku
semakin membuatku penasaran dengan apa
yang ada di dalam hati
dan pikirannya
“lo masih sama Bela?”
“putus. udah lama. Yaudahlah
gausah bahas dia
ya’
Singkat, padat, jelas: bahagia
“ya ampun!
udah malem bangeet gue harus
buru-buru pulang nih
si mama sama
papa pasti bingung deh gue
kenapa belum balik”
“yaah cepet bener”
dia melukiskan kekecewaan
dari sorotan matanya
“iyaa sorry bangeet.
Riz!! Anterin guee!!” teriakan itu mengagetkan
Ariz yang bergelut dengan berbagai macam tugas
yang telah di
siapkan oleh pemilik
café itu; mama.
“eh. Ngapain balik sama Ariz?
Dia lagi banyak
kerjaan, lagian ini
mendung, gue anter
aja ya?”
“yakin gapapa?”
“iya gapapa, yuk..”
Ternyata.. Bahagia itu sederhana..
…
Kita
Aku dan Dia
Sampai pada saatnya
Cinta itu nyata
Hadir dan selalu ada
“Dir, minta nomor lo”
“minta sama Ariz
aja ya gue buru-buru harus masuk
rumah nih, lo
hati-hati di jalan ya jangan
ngebut awas kehujanan dan.. jangan pulang terlalu
malem!”
“siap boss”
“okee byee”
“Dir” menoleh
dan kembali harus
bertatapan dengan sorot
mata dan senyuman
itu..
“ya?”
Dengan senyumnya
yang begitu melekat di
dalam hati
“goodnight”
“you too ya”
Tuhan adil,
Tuhan baik, bahagia
itu nyata..
Senyuman itu.. wajah
itu..
rasa ini.. semua hadir tanpa permisi..
…
Dering sms dari
ponsel smartphone berdering dengan begitu
hebat
“hey! Nih nomor
gue! Save ya! Tidur gih istirahat udah malem” sms pertama
di hari pertemuan
kedua..
“siaapp boss” singkat, mengisyaratkan betapa bingungnya kedua jempol
untuk menari indah
melukiskan beberapa kata
…
Satu bulan di
isi dengan sejuta
kata manis
Satu bulan di
lukiskan dengan seribu
canda humoris
Satu bulan di warnai dengan seratus
senyuman manis
Tiga bulan sudah
aku berada dalam hari-harinya..
Banyak kata yang
penuh keindahan dia lukiskan dalam hari-hariku..
Bahagia namun curiga..
Harapan kosongkah? adakah sedikit
isi dari harapan
itu?
“gue gamau kehilangan lo; maafin
gue yang udah
ngecewain lo; gue
ga
akan ngulangin kesalahan gue lagi; gue
ga mau lo deket sama yang
lain; gue cuma takut, lo
jauh dari gue; gue nungguin lo; lo satu-satunya;
kalo lo sakit, gue sakit”
Semua kata terbalut
dalam sejuta ketulusan?
Apakah semua yang kamu janjikan
adalah janji yang akan
kamu penuhi hingga
saat dan detik
ini?
“aku sayang
sama kamu” terlukis indah di
tanggal 11 di bulan maret satu tahun yang
lalu..
Will you remember me the way I remember you..
You are the sweeetest..
Every moment with you.. is the sweetest
one.. – Ilan
“lo masih punya
kita” kata itu
terlontar dengan penuh keyakinan dari sosok
perempuan yang selalu
penuh dengan motivasi yang sengaja
dia ciptakan
untuk orang yang
terkasih; monica, motivator penyemangat hidup, satu-satunya
tercipta
untukku..
“gue sayang sama
dia, tapi gue
ga cukup sabar
buat nanggepin dia, gue
mutusin dia tapi
kenapa gue harus nangis?”
“heh! Bodoh ya
lo! Udahlaah lo mutusin dia lo harus terima resiko” Miko mulai menata
kata untuk satu
sahabatnya..
“yaap betuuul! Gue setuju
sama lo, Ko!”
Tara bersuara.
Miko dan Tara,
selalu ada, begitupun dengan Lita
dan Monica, mereka adalah
tongkat penopang hidup, penerang
dalam langkah, penyemangat dalam jiwa,
dan penghangat
bagaikan matahari menghangatkan bumi dan
kehidupan yang
nyata..
“lupain Ilan, Dir..
dia ga baik buat lo, sekarang
dia udah jadi mantan lo, bukan pacar yang
begitu lo banggain
lagi, dia sayang
sama lo, tapi
sayang doang ga
cukup tanpa adanya
pengertian dari rasa
itu, sekarang jadiin dia sebuah
kisah dalam hidup lo!” Lita,
begitu dewasa, penuh kata
terbalut rasa..
“terlalu sakit
buat ngelupain dia..
gue gatau kenapa
gue sedikit nyesel
mutusin dia tapi
kalo gue pertahanin,
gue tau banget,
gue bakalan lebih
sakit daripada ini”
Tangisku mengisi hari
ini, 3 hari
sesudah perpisahan itu
terjadi…
“lo tau itu! Tapi lo
ga mau berusaha
bangkit
lagi? ga mau balikin
semua keceriaan lo?
Kita kangen itu,
raa! Kita semua
kangen sama lo
yang ceria bukan
lo yang terus-terusan
dihantuin sama rasa
penyesalan yang berujung kegalauan
itu!!”
“taa, gue mau
bangkit, karna gue
tau, gue punya
kalian semua, orang
yang selalu ada kapanpun gue
butuhin, kalian selalu
berusaha ngehibur gue,
tapi entah, sayang
gue ke dia
itu ga sebanding
rasa sabar gue,
tapi gue bakalan
usaha balikin semua
keceriaan gue, demi
kalian semua, para
penopang langkah!” aku kembali berusaha sekuat tenaga
untuk kembali dalam
senyuman termanis yang selalu
aku jadikan sebagai
topeng untuk menutupi
segala rasa sakit
yang aku alami.. demi mereka,
apapun akan aku
lakukan.. demi mereka..
para sahabat hidup..
“buat judul, Dir!” dengan polosnya, Tara
mengambil alih semua
cara untuk menghiburku.
“apaan deh, Tar?
Orang lagi serius
lo becanda”
Miko dan Tara;
selalu berbeda; namun mereka penghapus duka lara..
“gue serius! Buat judulnya
Kisah Sang Mantan!
Keren, Dir!!”
“hahahahahaha bisa
juga ya lo! aah
gue sayang sama kalian! Bigthanks buat kalian semua!
Kalian emang sahabat
hidup gue!”
Senyuman itu kembali bersinar
Tawa itu kembali ada
Karena mereka yang membuatku
tegar
Melepas tangis dalam hati dan jiwa.. Karena
mereka selalu ada..
Buat kamu;
orang yang pernah
tiada henti menjadi
pengisi hari dengan
singkat mencintai dan
menyayangi dengan tulus..
Orang yang
akan selalu aku ingat dan yang
akan aku rindukan..
Orang yang akan
selalu aku simpan
rapat dalam sebungkus
kenangan terindah..
Untuk saat
ini, esok, dan
seterusnya..
Teruslah bersinar dalam sanubarinya..
Teruslah menjadi penghangat di dalam jiwanya..
Teruslah menjadi alasan di setiap
semangat dalam hidupnya..
Teruslah.. teruslah menjadi bintang di dalam hatinya..
Dia; orang yang
kelak akan mencintaimu
lebih dari aku; orang
yang sudah begitu bodoh menginginkan
kamu untuk pergi..