Begitu sulit mencari sumber kebahagiaan.
Begitulah yang ada
dibenakku pagi ini. Matahari tidak kunjung datang dalam tiga hari belakangan.
Suara yang selalu aku rindukan menjadi hantu yang terus mengusik setiap bangun
pagiku dan setiap malam tidurku.
Jalanan seperti
kehidupanku. Lurus namun sepi.
Aku melihat lelaki tua
terduduk lemah disudut jalan kota yang begitu banyak membuatku mengenal arti
kehidupan yang begitu sulit untuk aku jalani sendiri. Aku berhenti berjalan.
Mobil dan motor mulai meramaikan pagi ini. Dan akhirnya, matahari terlihat
lagi. Aku terus memandangnya, dan semua terasa sesak. Aku kembali teringat akan
sosok lelaki tua yang kini terbaring lemah tak berdaya di sebuah ruangan yang
teramat sepi baginya. Tanpa sadar, air mataku jatuh perlahan. Aku menyeka
dengan jari-jari yang melekat pada tangan kananku.
Aku kembali berjalan namun
mataku tidak lepas dari sosok yang semakin dekat. Aku menghampirinya dan duduk
berjongkok dihadapannya, mengeluarkan sebungkus roti yang aku bawa untuk bekal
sarapanku selama diperjalanan yang akan memakan waktu dua jam untuk sampai di
kampus ku.
“Terimakasih, nak.” Suara
berat itu kembali mengingatkan aku dengan suara yang kini semakin aku rindukan.
Parasnya yang begitu rapuh, kesepian yang menguap dalam matanya. Teduh. Seperti
orang yang sangat aku butuhkan saat ini.
Senyumku menjawab
semuanya. Aku kembali berdiri dan kembali menatap apa yang harus aku jalani.
…..
Sepulang kuliah aku
tidak pernah langsung melangkahkan kaki ke rumahku sendiri. Seperti hari ini,
aku sengaja pulang lebih awal dari kampusku hanya untuk pergi menemui orang
yang sangat berarti dalam hidupku.
Kini aku berdiri
didepan pintu rumahnya. Menunggunya berjalan tertatih untuk membukakan pintu
untukku.
“Hallo, anakku” Sapaan
yang selalu khas di telingaku.
Aku menopang
langkahnya. Sama seperti saat aku terduduk lesu menangis di sudut kamarku,
beberapa tahun yang lalu, dan dia datang untuk menopangku menuju kamarnya,
memberikan semua alasan mengapa dia sangat menyayangiku seperti dia menyayangi
anak kandungnya sendiri, seperti dia menyayangi separuh jiwanya. Kaki yang dulu kuat menggendongku, kini
menjadi rapuh tak berdaya.
“Sudah makan? Mau papa
suapin?” Tanpa menjawab
pertanyaannya, aku duduk di lantai menghadapnya, dia berdiri dengan sekuat tenaga,
menggenggam erat pinggiran sofa, lalu bangkit dengan satu hembusan nafas. Aku
hanya bisa melihatnya dari sudut mataku, menyembunyikan tetesan air mata, melihat
semua kelemahan yang kini semakin terlihat jelas, semua telah berubah, pikirku.
Seusai makan, aku
bergegas membereskan semua piring kotor yang berserakan diatas meja sebelum dia
yang melakukannya dengan susah payah. Aku sangat tahu bahwa semua hal kecil
yang aku lakukan seperti ini tidak akan mampu membalas semua cinta kasih yang
dia beri selama 19 tahun ini. Ya. Dari kecil, bahkan dari aku berumur 1 hari,
aku memanggilnya papa, aku telah menjadi peri kecilnya, peri kecil yang selalu
menjadi pusat perhatiannya, yang selalu manja, yang selalu menangis dalam
pelukannya, yang selalu menghabiskan coklat yang ada di kantung baju dalam
lemarinya. Papa begitu menyayangiku hingga aku lupa akan kasih sayang kedua
orang tuaku dirumah. Papa begitu mencintaiku hingga aku lupa akan cinta dari
keluarga besarku.
“Sudah beres?”
Pertanyaan itu mampu membuyarkan semua lamunanku. Tanpa sadar, aku sudah kembali
duduk disampingnya, kali ini berdampingan dengannya.
“Nak,” panggilan yang
begitu menyejukkan. Aku terhenyak ketika aku harus menoleh ke arahnya, harus
melihat dengan dekat paras wajahnya yang semakin tua, yang semakin terlihat sepi,
yang semakin terlihat rapuh. Oh Tuhan, sanggupkah aku untuk hidup di dua tempat
dengannya?
Dia membenarkan posisi
duduknya, lebih mendekat. Sentuhan hangat menjalar di kepalaku. Dia mengusap
rambutku sama persis ketika sewaktu kecil aku menceritakan hal yang membuat aku
menangis, lalu dengan lembut dia membelaiku.
“Kamu mau papa nangis?”
“Nggak”
“Kalau begitu, berhentilah menangis, lihat di lemari
itu, ada sesuatu untuk kamu”
Aku yang saat itu
berumur kurang lebih 6 tahun berlari kecil sambil mengusap air mataku, membuka
lebar pintu lemari pakaiannya, dan merogoh kantung kemeja yang biasa memberikan
nilai tambah untuk ketampanannya.
“Coklat!!”
aku begitu bahagia saat itu. Menjerit histeris tanpa peduli dengan sisa air
mataku.
“Bilang apa?”
satu pertanyaan yang dengan cepat aku jawab “Thank
you.”
Aku berada dipelukannya
lama. Lama sekali. Sampai aku lupa tentang coklat yang ada di genggamanku saat
itu.
Sentuhan hangat itu
membuatku terhanyut akan kenangan dulu. Suara penuh harap yang dia lontarkan
dari ujung lidahnya kembali mampu membuatku tersentak dan tersadar dari
lamunanku.
“Kamu harus janji satu
hal sama papa.”
“Apa, pa?” Kali ini tangan
kanannya yang dulu hampir setiap hari mengaduk susu buatannya special untuk
peri kecilnya ini menggenggam erat tanganku.
“Kamu tidak boleh dan
jangan sampai mengeluarkan air mata yang terlalu banyak untuk suatu saat nanti.
Kamu harus ingat, semua yang telah Tuhan gariskan kepada kita, itu adalah yang
terbaik, dan kamu harus selalu ingat papa akan lebih bahagia jika melihat kamu
tersenyum. Kamu mengerti maksud papa?”
Aku terdiam. Merasakan panas
di ujung kelopak mataku. Sekujur tubuhku lemas seketika, rasa kuat yang selama
ini selalu menjadi penutup kelemahanku bergejolak hebat, ingin rasanya aku
menjerit bahwa aku tidak akan pernah bisa sanggup tanpanya, ingin rasanya aku
memeluk tubuh yang dulu begitu erat memelukku, ingin rasanya aku berteriak
tepat ditelinganya bahwa aku benar-benar tidak akan pernah merasakan kehidupan
yang berarti jika aku hidup tanpa dirinya.
“Iya, pa.”
Kenangan yang sudah
sekian lama aku simpan rapi dalam hatiku menjerit ingin keluar dari jeruji besi
pikiranku. Saat semua membuatku
menangis, hanya satu yang bisa membuatku bertahan untuk tersenyum.
“Kenapa kamu nangis?” Tanyanya beberapa tahun silam.
“Difta gak salah tapi Difta yang di marahin, pa” aku menangis, berjongkok di sudut ruang tamu sore
itu.
“Mau coklat? Ayo kita ke kamar papa.” Dia
mengulurkan tangannya, membantuku untuk bangkit berdiri, menggendongku dan
membawaku masuk ke kamarnya.
“Nak,” panggilnya. Aku menoleh ketika aku sudah
mendarat bebas di atas tempat tidur yang selalu membuatku merasa nyaman
diatasnya.
“Kamu dengarkan papa, kamu tidak boleh jahat sama
orang yang jahat sama kamu, kamu tidak boleh dendam sama orang yang sudah buat
kamu menangis, ini coklatnya, dan keluarlah, beri coklat itu untuk orang yang
sudah membuat kamu menangis, kalau semua sudah kamu berikan dengan adil, kamu
kembali ke kamar papa, kamu akan dapat tiga coklat dari papa.”
Papa. Dia yang
mengajarkan semua kebaikan di dalam kehidupanku. Aku tidak akan pernah bisa dan
mampu membayangkan bagaimana aku kelak jika aku tidak lagi memiliki dia yang
begitu berperan penting dalam setiap keindahan dalam hidupku. Membayangkan semua
yang menjadi hal terburuk sekalipun, air mata ini tidak mampu tertahankan. Bagaimana
kehidupanku nanti?
Satu hal yang membuatku
tersadar, bahwa dia adalah salah satu motivasi besar dalam perjalananku, dalam
setiap hal yang aku lakukan.
Perjanjian yang
ada mampu membuatku mengerti bahwa aku hidup untuknya, aku hidup atas dasar
cinta dan kasih sayangnya, aku hidup dan aku bahagia karena kebahagiannya.
-End-
No comments:
Post a Comment