wanna be a writer and a famous pianist as soon as possible , I just wanna make them proud of me

Sunday, May 25, 2014

PAPA

Begitu sulit mencari sumber kebahagiaan.

   Begitulah yang ada dibenakku pagi ini. Matahari tidak kunjung datang dalam tiga hari belakangan. Suara yang selalu aku rindukan menjadi hantu yang terus mengusik setiap bangun pagiku dan setiap malam tidurku.

Jalanan seperti kehidupanku. Lurus namun sepi.

   Aku melihat lelaki tua terduduk lemah disudut jalan kota yang begitu banyak membuatku mengenal arti kehidupan yang begitu sulit untuk aku jalani sendiri. Aku berhenti berjalan. Mobil dan motor mulai meramaikan pagi ini. Dan akhirnya, matahari terlihat lagi. Aku terus memandangnya, dan semua terasa sesak. Aku kembali teringat akan sosok lelaki tua yang kini terbaring lemah tak berdaya di sebuah ruangan yang teramat sepi baginya. Tanpa sadar, air mataku jatuh perlahan. Aku menyeka dengan jari-jari yang melekat pada tangan kananku. 
   Aku kembali berjalan namun mataku tidak lepas dari sosok yang semakin dekat. Aku menghampirinya dan duduk berjongkok dihadapannya, mengeluarkan sebungkus roti yang aku bawa untuk bekal sarapanku selama diperjalanan yang akan memakan waktu dua jam untuk sampai di kampus ku.
  “Terimakasih, nak.” Suara berat itu kembali mengingatkan aku dengan suara yang kini semakin aku rindukan. Parasnya yang begitu rapuh, kesepian yang menguap dalam matanya. Teduh. Seperti orang yang sangat aku butuhkan saat ini.
   Senyumku menjawab semuanya. Aku kembali berdiri dan kembali menatap apa yang harus aku jalani.
…..
   Sepulang kuliah aku tidak pernah langsung melangkahkan kaki ke rumahku sendiri. Seperti hari ini, aku sengaja pulang lebih awal dari kampusku hanya untuk pergi menemui orang yang sangat berarti dalam hidupku.
   Kini aku berdiri didepan pintu rumahnya. Menunggunya berjalan tertatih untuk membukakan pintu untukku. 
   “Hallo, anakku” Sapaan yang selalu khas di telingaku.
   Aku menopang langkahnya. Sama seperti saat aku terduduk lesu menangis di sudut kamarku, beberapa tahun yang lalu, dan dia datang untuk menopangku menuju kamarnya, memberikan semua alasan mengapa dia sangat menyayangiku seperti dia menyayangi anak kandungnya sendiri, seperti dia menyayangi separuh jiwanya.  Kaki yang dulu kuat menggendongku, kini menjadi rapuh tak berdaya.
   “Sudah makan? Mau papa suapin?” Tanpa menjawab pertanyaannya, aku duduk di lantai menghadapnya, dia berdiri dengan sekuat tenaga, menggenggam erat pinggiran sofa, lalu bangkit dengan satu hembusan nafas. Aku hanya bisa melihatnya dari sudut mataku, menyembunyikan tetesan air mata, melihat semua kelemahan yang kini semakin terlihat jelas, semua telah berubah, pikirku.

   Seusai makan, aku bergegas membereskan semua piring kotor yang berserakan diatas meja sebelum dia yang melakukannya dengan susah payah. Aku sangat tahu bahwa semua hal kecil yang aku lakukan seperti ini tidak akan mampu membalas semua cinta kasih yang dia beri selama 19 tahun ini. Ya. Dari kecil, bahkan dari aku berumur 1 hari, aku memanggilnya papa, aku telah menjadi peri kecilnya, peri kecil yang selalu menjadi pusat perhatiannya, yang selalu manja, yang selalu menangis dalam pelukannya, yang selalu menghabiskan coklat yang ada di kantung baju dalam lemarinya. Papa begitu menyayangiku hingga aku lupa akan kasih sayang kedua orang tuaku dirumah. Papa begitu mencintaiku hingga aku lupa akan cinta dari keluarga besarku.
   “Sudah beres?” Pertanyaan itu mampu membuyarkan semua lamunanku. Tanpa sadar, aku sudah kembali duduk disampingnya, kali ini berdampingan dengannya.
   “Nak,” panggilan yang begitu menyejukkan. Aku terhenyak ketika aku harus menoleh ke arahnya, harus melihat dengan dekat paras wajahnya yang semakin tua, yang semakin terlihat sepi, yang semakin terlihat rapuh. Oh Tuhan, sanggupkah aku untuk hidup di dua tempat dengannya?

   Dia membenarkan posisi duduknya, lebih mendekat. Sentuhan hangat menjalar di kepalaku. Dia mengusap rambutku sama persis ketika sewaktu kecil aku menceritakan hal yang membuat aku menangis, lalu dengan lembut dia membelaiku.
   “Kamu mau papa nangis?”
   “Nggak”
   “Kalau begitu, berhentilah menangis, lihat di lemari itu, ada sesuatu untuk kamu”

   Aku yang saat itu berumur kurang lebih 6 tahun berlari kecil sambil mengusap air mataku, membuka lebar pintu lemari pakaiannya, dan merogoh kantung kemeja yang biasa memberikan nilai tambah untuk ketampanannya.
   “Coklat!!” aku begitu bahagia saat itu. Menjerit histeris tanpa peduli dengan sisa air mataku.
   “Bilang apa?” satu pertanyaan yang dengan cepat aku jawab “Thank you.”

   Aku berada dipelukannya lama. Lama sekali. Sampai aku lupa tentang coklat yang ada di genggamanku saat itu.
   
   Sentuhan hangat itu membuatku terhanyut akan kenangan dulu. Suara penuh harap yang dia lontarkan dari ujung lidahnya kembali mampu membuatku tersentak dan tersadar dari lamunanku.
   “Kamu harus janji satu hal sama papa.”
   “Apa, pa?” Kali ini tangan kanannya yang dulu hampir setiap hari mengaduk susu buatannya special untuk peri kecilnya ini menggenggam erat tanganku.
   “Kamu tidak boleh dan jangan sampai mengeluarkan air mata yang terlalu banyak untuk suatu saat nanti. Kamu harus ingat, semua yang telah Tuhan gariskan kepada kita, itu adalah yang terbaik, dan kamu harus selalu ingat papa akan lebih bahagia jika melihat kamu tersenyum. Kamu mengerti maksud papa?”

   Aku terdiam. Merasakan panas di ujung kelopak mataku. Sekujur tubuhku lemas seketika, rasa kuat yang selama ini selalu menjadi penutup kelemahanku bergejolak hebat, ingin rasanya aku menjerit bahwa aku tidak akan pernah bisa sanggup tanpanya, ingin rasanya aku memeluk tubuh yang dulu begitu erat memelukku, ingin rasanya aku berteriak tepat ditelinganya bahwa aku benar-benar tidak akan pernah merasakan kehidupan yang berarti jika aku hidup tanpa dirinya.
   “Iya, pa.”

   Kenangan yang sudah sekian lama aku simpan rapi dalam hatiku menjerit ingin keluar dari jeruji besi pikiranku. Saat semua membuatku menangis, hanya satu yang bisa membuatku bertahan untuk tersenyum.
   “Kenapa kamu nangis?” Tanyanya beberapa tahun silam.
   “Difta gak salah tapi Difta yang di marahin, pa” aku menangis, berjongkok di sudut ruang tamu sore itu.
   “Mau coklat? Ayo kita ke kamar papa.” Dia mengulurkan tangannya, membantuku untuk bangkit berdiri, menggendongku dan membawaku masuk ke kamarnya.
   “Nak,” panggilnya. Aku menoleh ketika aku sudah mendarat bebas di atas tempat tidur yang selalu membuatku merasa nyaman diatasnya.
   “Kamu dengarkan papa, kamu tidak boleh jahat sama orang yang jahat sama kamu, kamu tidak boleh dendam sama orang yang sudah buat kamu menangis, ini coklatnya, dan keluarlah, beri coklat itu untuk orang yang sudah membuat kamu menangis, kalau semua sudah kamu berikan dengan adil, kamu kembali ke kamar papa, kamu akan dapat tiga coklat dari papa.”

   Papa. Dia yang mengajarkan semua kebaikan di dalam kehidupanku. Aku tidak akan pernah bisa dan mampu membayangkan bagaimana aku kelak jika aku tidak lagi memiliki dia yang begitu berperan penting dalam setiap keindahan dalam hidupku. Membayangkan semua yang menjadi hal terburuk sekalipun, air mata ini tidak mampu tertahankan. Bagaimana kehidupanku nanti?

   Satu hal yang membuatku tersadar, bahwa dia adalah salah satu motivasi besar dalam perjalananku, dalam setiap hal yang aku lakukan.

   Perjanjian yang ada mampu membuatku mengerti bahwa aku hidup untuknya, aku hidup atas dasar cinta dan kasih sayangnya, aku hidup dan aku bahagia karena kebahagiannya.


-End-




No comments:

Post a Comment